[caption id="attachment_133649" align="aligncenter" width="654" caption="Kenapa harus orang lain yang menerima pesakitannya"][/caption]
Lagi-lagi LSM gencar teriak HAM sampai rebut-ribut didepan istana, memang apa sih sebenarnya yang mereka perjuangkan orang yang diperjuangkannya saja sudah ga ada. Uang ataukah apa?
Saya hanya bisa memaklumi saja lha wong mereka semua mayoritas adalah orang awam yang terpelajar, berorasi dengan bahasa “nggebyak uyah” (menyama ratakan) semua orang kalau salah pasti ga bersisa, asal teriak kalau ditanya jawabnya “no comment”.
HAM itu ga usah di teriak’i dan dicari, kalau memang waktu kita masih SMP dulu benar-benar memperhatikan dan belajar pasti tahu kalau HAM itu sudah ada sejak manusia itu dalam kandungan (bayi). Terus kenapa masih di cari? Kalau memang ingin memperjuangkan HAM ya berjuanglah dengan arif dan ambil hati masyarakat, tidak dengan membuat jalan macet hanya untuk sekedar mencari perhatian. Kalau sudah seperti itu jelas saja masyarakat yang terganggu akhirnya berharap supaya aparat agar segera mengambil tindakan tegas. Apalagi menggelar unjuk rasanya di depan istana ya jelas TNI yang paling berperan mengingat keselamatan presiden adalah tanggung jawab TNI.
Demokrasi bukan ajang adu kekerasan dan mengumpat tapi ajang menguji kedewasaan dalam mengutarakan suatu pendapat. Tidak ada yang melarang para pecinta HAM untuk berteriak dan menyuarakan orasinya asal sopan biar kami segan. Ingat bahasa kampung “Hati-hati nabrak benjut!!”, jangan sampai suatu ketika masyarakat menjadi geram dan tidak simpati karena aktifitasnya terganggu, kalau memang yang disuarakan itu murni untuk masyarakat maka ada baiknya ber”suaralah” yang baik dan benar. Karena banyak pendapat/opini dimasyarakat bahwa suara-suara yang mendengungkan HAM oleh LSM mayoritas punya tujuan tertentu dan ada “deal-deal” bagi yang mampu menggoalkan pesanannya. LSM HAM punya pasukan, yaitu mahasiswa biasanya yang di gerakkan buat jadi martir didepan, jadi kasihan kalau lagi gontok-gontokan sama aparat jadi bebek belur semua.
Kesal pasukannya terpukul mundur aparat, akhirnya lagi-lagi tangisan HAM yang diteriakkan. “Aparat melanggar HAM, aparat anjing ga pernah sekolah, aparat beraninya cuma lawan rakyat” dan lain sebagainya. Weleh-weleh, rakyat mana toh yang sebenarnya di bela ? kok rakyat yang dibawa-bawa namanya buat ngeles.
Memang ABRI ga boleh balas ya kalau di pukul oleh orang lain? Kalau saya jadi ABRI jawabannya pasti saya balas (orang dipukul sakit kok ga dibalas). Aparat sekarang sudah wajib melek HAM, tuh buktinya di pendidikan dasar HAM jadi materi utama, sering di evaluasi pula ketika ada yang ga bener penerapannya, sosialisasi , yang paling gress banyak buku saku HAM yang di bagikan ke para aparat dari Jakarta untuk dijadikan pedoman para aparat dilapangan. Terus yang ga melek HAM itu siapa ?
Masyarakat ndeso sekarang ini otaknya sudah kota, meskipun hidup di pelosok-pelosok mereka sudah bisa mikir mana yang bener dan mana yang tidak. Dan mereka juga tahu bahwa yang diperjuangkan oleh sekelompok orang yang katanya untuk mereka belum tentu benar-benar murni juga untuk mereka, justru nama mereka sering kali digunakan untuk melengkapi bilangan yang kurang biar terlihat banyak.
Yah, namanya juga wong ndeso mas, omongane ya Cuma setingkat ini saja. Maklum kuliah saya ora nutut alias pedhot tengah jalan jadi ojo heran lek tulisanku iki akeh sing ngelantur. Wes tho mas mbak, tinimbang urip nang kuto isone cuman mbengak-mbengok mending luweh apik bali nang ndeso wae uripe enak tentrem ora mikir kesel lek mbengok adol suoro.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H