Lihat ke Halaman Asli

Si Robot, Sahabatku

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Setiap kakinya melangkah selalu terdengar suara tulang bergemeletak. Terasa ngilu di kuping yang mendengar. Kurang oli – begitu candanya jika ada yang bertanya kenapa tulangnya berbunyi seperti itu.

Julukan Si Robot, jadi nama populernya di sekolah. Aku dan dia adalah teman semeja di kelas. Aku jadi ikut terkenal sebagai temannya Si Robot.

Sudah robot, karatan pula – ejek salah seorang teman di kelas suatu kali. Seluruh kelas bergemuruh oleh tawa. Ternyata hanya aku yang tak tertawa. Bahkan dia, Si Robot, ikut tertawa terbahak-bahak.

Ia ditolak saat mendaftar ikut ekstra kulikuler PBB (Pasukan Baris Berbaris) di sekolah. Bukan karena kau tidak bisa berbaris, hanya saja suara tulangmu merusak konsentrasi murid lainnya – begitu alasan guru.

Sambil sedikit berkaca-kaca, dia berkata – sebenarnya Pak Guru suka caraku berbaris. Bahkan aku sangat bagus menurutnya. Saking bagusnya, Pak Guru takut dituduh menggunakan robot.

Aku diam sejenak, lalu tertawa terbahak-bahak. Dia akhirnya ikut tertawa. Sejak itu kami adalah sahabat, bukan lagi sekedar teman semeja. Bersama mentertawakan dunia.

Dia bercerita jika sudah berobat kemana-mana. Dokter ahli menyerah untuk menemukan apa masalah dalam tubuhnya. Dia normal – begitu kata dokter. Atau ilmu kami yang belum mampu mendeteksi apa yang salah dari tulangnya – tambah dokter lainnya dengan pasrah. Orang tuanya kaya raya. Semua dokter terkenal disambangi. Namun hasilnya sama. Tak diketemukan kelainan apa pun.

Tentu aneka macam pengobatan alternatif juga dicoba. Termasuk pergi ke orang pintar atau dukun. Hasilnya nihil. Suara tulangnya tetap bertahan.

Bahkan untuk mengecilkan volume suaranya saja mereka tidak bisa – begitu ayah dan ibunya bercanda.

Setelah tamat SMA, dia pergi melanjutkan pendidikan ke negeri China. Dia memang punya keturunan China dan sudah ikut kursus bahasa Mandarin sejak SD.

Kan kata orang, tuntutlah ilmu sampai ke negeri China – seloroh ayahnya. Ibunya hanya diam menahan isak.

Waktu itu, aku ikut melepas keberangkatannya di bandara Soekarno-Hatta.

Aku akan kuliah sebaik mungkin agar cepat lulus dan segera pulang ke Indonesia. Segera bertemu kembali denganmu – kata-katanya serius kali ini. Bahkan disudut matanya mulai menetes bulir air mata. Aku dan dia berpelukan. Ibunya melengos pura-pura tak melihat. Sementara sang ayah hanya senyum-senyum kecil sembari mengedipkan sebelah mata ke arahku.

Eh jangan lupa ke biara Sholin. Siapa tahu mereka tahu cara memperbaiki tulangmu – teriakku saat dia mulai melangkah masuk ke ruang tunggu pemberangkatan.

Dia berbalik dan tersenyum. Lalu menghilang dalam keramaian calon penumpang pesawat lainnya.

Selamat berjuang sahabat – bisikku

Selesai




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline