Lihat ke Halaman Asli

Dunia Kampus (Part 2)

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Hari terus berlari, minggu bergulir dan bulan pun terus berganti. Tidak cukup setahun aku sudah begitu lekat dengan langkah-langkah seseorang aktivis kemahasiswaan. Kegiatan demi kegiatan aku ikuti, sebagai peserta hingga sebagai panitia. Aku pun semakin giat mencari literatur yang mampu menunjang kegiatan-kegiatanku. Membaca buku dan berdiskusi.

Seiring langkahku yang terus mengayuh, semakin dalam aku selami organisasi kemahasiswaan itu. Namun makin aku hanyut dan tenggelam, makin aku dapati penyimpangan-penyimpangan. Banyak hal yang berbenturan dengan ideologi yang mereka ukir di setiap sel-sel otakku semenjak aku dinyatakan sebagai mahasiswa baru. Mungkinkah karena aku yang terlalu termakan retorika hingga masuk dan terjun ke dunia ini hanya karena ikut-ikutan? Hanya sebagai bentuk aktualisasi diri agar bisa menjadi senior yang berbicara di depan mahasiswa baru yang belum mengerti banyak?

Gerakan mahasiswa layaknya pertarungan dalam kekuasaan negara yang penuh dengan kepentingan. Kepentingan-kepentingan pribadi untuk mencapai ambisi masing-masing. Saat pemilihan ketua lembaga misalnya, semua membawa kepentingan dan isu masing-masing. Kekuatan pikiran digunakan untuk memenangkan calon tertentu agar bisa mendapatkan “sesuatu”. Apakah ada perjuangan yang murni? Entahlah aku tak bisa menjawabnya.

Kebesaran organisasi kemahasiswaan hanyalah masa lalu. Hanyalah dongeng senior. Mahasiswa kini hanya bisa terpukau tanpa bisa memukau. Hanya mengamat tanpa bisa berbuat. Hanya mampu menatap namun enggan melangkah dengan mantap. Terpenjara oleh sejarah. Merasa besar untuk hal yang tidak mereka benah. Hingga akhirnya kehilangan arah.

Organisasi itu sangat rapuh. Bagaimana cara mahasiswa mengemban tugas untuk memperbaiki sistem keorganisasian masyarakat yang katanya sangat rapuh sedangkan sistem organisasinya sendiri jauh lebih rapuh?

Namun semua tetap aku jalani bahkan ikut latah dan menjadi bagian. Makin lama semuanya makin memuakkan. Ada yang mengetuk-ngetuk hati nurani. Bergejolak. Bergolak.

Ini adalah gerakan moral yang murni atas dasar keinginan nurani yang terpanggil. Setiap mahasiswa berhak mengenyam dan merasakannya. Termasuk mereka yang berstatus mahasiswa baru.

Setidaknya ada yang terjun atau sengaja di hanyutkan dalam laju gerakan mahasiswa. Tak peduli, apakah suatu hari nanti mereka menyesal ketika menyadari kerapuhan organisasi ini. Tak peduli, apakah suatu hari nanti mereka kecewa ketika mendapati keadaan yang tak seideal dalam bayangan. Tak peduli, apakah mereka merasa terlambat untuk mundur dan mengambil jalur yang lain.

Harusnya ada yang memulainya. Harusnya ada yang membuka pintunya. Harusnya ada yang memudahkan jalannya agar mereka, bibit-bibit baru, tumbuh dan akan mengubah segalanya menjadi lebih baik.
Tetapi ketika prosesi penyambutan mahasiswa baru dicekal, akankah hadir wajah baru? Akankah ada yang akan memahami arti kebersamaan? Akankah ada regenerasi? Akankah ada yang memaknai arti perubahan?

Masih adakah yang akan bertanggung jawab?
Pengkaderan adalah harga mati!

Meskipun dosen pernah mengenyam masa menjadi mahasiswa, tetapi mereka tetap tidak berhak untuk membimbing mahasiswa baru dalam memasuki dunia kemahasiswaan sesungguhnya. Kita beda masa wahai para birokrasi. Kita berbeda masalah dan kita pun berbeda cara untuk menyelesaikan semuanya. Sudah seharusnya suatu proses dan metode penerimaan mahasiswa baru dilakukan oleh mahasiswa, untuk mahasiswa dan kepada mahasiswa. Eksistensi prosesi penerimaan mahasiswa baru oleh mahasiswa harus tetap dipertahankan. Aku sadar, bukan hanya sekedar ajang balas dendam apalagi ajang untuk pamer retorika. Ini adalah sebuah panggilan moral. Prosesi penerimaan mahasiswa baru harus tetap dilaksanakan.
Situasi makin hangat. Aku yakin aku sadar. Aku pun ikut-ikutan aktif pada sebuah demo besar-besaran untuk mengadakan kegiatan tersebut. Sekali lagi aku sadar. Aku berteriak lantang. Berorasi. Terlihat begitu kritis. Dan….

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline