Sebenarnya aku sudah muak memasuki kampus ini. Tetapi percakapanku dengan Andre, seorang mahasiswa yang terkena sanksi DO, seolah mendorongku untuk kembali, bukan malah berlari. Menjauh. Menghindar. Terlepas. Tetapi berbalik dan menghadapi.
“Van, kamu lihat ilalang-ilalang itu?”
“Ya!” jawabku singkat dan memandang ilalang-ilalang yang tumbuh liar di tepi danau.
“Mereka memang tampak kompak. Satu ke kanan lainnya ke kanan, satu ke kiri lainnya pun ikut ke kiri. Tetapi bukan ke kompakan seperti itu yang kita cari untuk memperbaiki penyimpangan di sekitar kita. Ilalang-ilalang itu baru bergerak ketika sang bayu berhembus. Bukan karena keinginan sendiri. Tidak punya inisiatif. Hanya mengikuti. Kalau begitu, bagaimana perubahan itu akan menjadi nyata?”
Aku terdiam melumat tiap baris kata-kata Andre.
“Kamu mungkin masih lebih beruntung, masih bisa melanjutkan kuliah. Hanya di skorsing. Sedangkan aku?”
“Aku mengerti apa yang kamu rasakan!”
“Kalau kau mau, kau bisa tetap menjadi ilalang, latah dan larut dalam peradaban, punya banyak teman dan membiarkan sang bayu meniupkan jiwamu sesuka hati. Atau kau terlepas dari mereka tetapi mungkin menghadapi kenyataan bahwa kau akan sendiri. “
Ada gejolak yang menggelora, menyesakkan kediamanku. Apakah aku mampu berdiri tegak sendiri? Aku menutup mata, menunduk.
“Pilihan penting dalam hidup ini hanya dua Van, menerima hidup apa adanya atau menerima tanggung jawab untuk merubahnya. Aku yakin kamu tahu persis pilihan mana yang harus kamu pilih dan aku percaya kamu bisa menghadapi resiko pilihanmu itu!”
Ia seakan menjawab kediamanku.