Lihat ke Halaman Asli

Taksi Lokal, Generasi Milenial dan Perubahan Sosial

Diperbarui: 8 Juli 2017   09:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber : industri.bisnis.com/

Belakangan ini, banyak sekali terjadi gesekan di masyarakat. Baik itu gesekan antar kelompok agama, antar level tokoh ataupun gesekan perbedaan opini pemikiran. Memang wajar, sebagai bangsa yang selalu ingin memperbaiki diri, berubah untuk jadi lebih baik ke depannya terjadi perbedaan. Namun, menjadi carut marut ketika ada yang ingin menasehati penguasa, dikatakan "mengujar kebencian". Memperbaiki masyarakat dengan dakwah, dikatakan "teroris-radikal", menghimpun massa menegakkan keadilan dikatakan "makar". Seolah ada permainan labelisasi. 

Ada pihak yang tak suka (dan dia menguasai akses media) menyudutkan yang lainnya dengan senjata labelisasi tadi. Sungguh ironi. Proses Demokrasi dan Kebebasan Berpendapat pun hanya ilusi. Menurut saya, hal ini terjadi karena masyarakat kita masih belum akrab dengan keniscayaan proses perubahan. Berikut ini saya akan memberi ilustrasi tentang taksi konvensional (lokal), generasi millenial dan keniscayaan perubahan sosial.

Dalam suatu perjalanan, saya sempat ngobrol dengan salah seorang supir taksi lokal Solo tentang polemik taksi online yang belakangan ini sedang ramai di Solo. Ketika saya tanya, "apakah bapak ikut demonstrasi penolakan taksi online?". Sambil menyetir dan tertawa ringan beliau menjawab, "nggak mbak, saya nggak ikut. Lebih baik waktu untuk demo saya pakai untuk narik". 

Ketika ditanya pendapatnya apakah pro atau kontra dengan hadirnya taksi berbasis aplikasi uber ini, bapak paruh baya ini punya pendapat yang menarik dari kebanyakan supir taksi konvensianal lainnya (yang umumnya menolak taksi online). Menurutnya, sebenarnya taksi online itu bagus, mudah dan menguntungkan bagi supir maupun konsumen.

Polemik tentang hadirnya taksi uber memang bukan fenomena baru. Seperti yang diberitakan pada Solopos.com (14/5/2017), supir taksi berdemo di halaman Balaikota Solo untuk menolak kehadiran taksi uber karena dinilai masih ilegal. Bahkan, mereka membentuk organisasi kemasyarakatan bernama  Barisan Anti Angkutan Ilegal (Bantai) dan telah berkoordinasi dengan kota-kota lainnya. Sebelum Solo, polemik ini telah terjadi di kota-kota besar lainnya di Indonesia. 

Dan jika kita lihat, meskipun menuai banyak penolakan namun realitanya taksi uber tetap eksis dan banyak diminati oleh konsumen. Jika saat ini taksi lokal di Solo berani berdemo untuk menolak Uber dengan alasan belum mengantongi ijin, lantas bagaimana nantinya jika Uber sudah berijin?. Tentu, taksi lokal mau tidak mau harus menerima kenyataan pahit untuk bersaing dengan mereka.

Perubahan Sosial di Era Digital

Satu potret permasalahan taksi uber tersebut tentunya tidak terlepas dari suatu keniscayaan perubahan sosial di Era Digital. Era dimana segala aktivitas, komunikasi, informasi dan transportasi melaju dengan cepat. Perubahan menuju era digital ini pernah dibaca oleh salah seorang ahli, Alvin Toffler. Toffler  menyatakan  bahwa peradaban gelombang ketiga ini ditandai dengan semakin berkembangnya teknologi alat komunikasi. Melalui analisisnya, setiap media teknologi yang berkembang akan berdampak pada perubahan empat sistem tatanan yang saling terkait.

Pertama, lingkungan dimana teknologi itu berkembang; kedua, pada budaya pertukaran informasi diantara masyarakat. Dari persinggungan antar kedua dampak ini akan membentuk  dampak ketiga, yakni wajah  kehidupan sosial (sosiosfer texture). Sehingga pada akhirnya dampak akhirnya yang keempat adalah dampak bagaimana kita berfikir, merasa dan berlaku (psikosfer).

Jika kita cermati, teori perubahan sosial ala Toffler ini sangat relevan telah hadir di depan mata kita. Dimana salah satu contohnya adalah fenomena taksi uber. Hadirnya teknologi baru sebagai solusi atas permasalahan lamanya pelayanan, tidak efektif dan mahal, membentuk wajah baru masyarakat. Yang awalnya masyarakat enjoy saja dengan taksi konvensional, beralih menjadi wajah baru pengguna taksi uber.

Namun, namanya saja perubahan. Pasti ada proses gesekan, pertentangan dan ketidaksiapan sebelum tujuan perubahan itu tercapai. Pada perubahan sosial di Era digital ini, tak semua generasi dari masyarakat mampu beradaptasi. Perubahan pada era digital ini, generasi millenial-lah yang paling siap menerimanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline