“Pendidikan merupakan gerakan semesta yang melibatkan semua,” itulah ungkapan Anies Baswedan, Menteri Pendidikan Indonesia. Dari ungkapan ini, Pemerintah mengharapkan setiap unsur Bangsa untuk ikut berpartisipasi dalam siklus pendidikan di Indonesia.
Memang, hal ini menjadi konsep yang menarik dalam pembangunan suatu negara. Bahwa tidak hanya melalui bangku-bangku sekolah saja pendidikan diperoleh oleh masyarakat, tetapi dapat diperoleh melalui aktivitas kemasyarakatan lainnya. Karena proses ‘membaca’ tidak melulu terbatas pada membaca buku, namun bisa dengan ‘membaca’ fenomena alam, pengalaman hidup, situasi masyarakat dan tanda-tanda kekuasaan. Hal inilah yang sebenarnya perlu kita sadari bersama untuk mewujudkan ketercapaian pendidikan untuk semesta harus ada timbal balik antara negara dan masyarakat.
Pukulan Keras Dunia Pendidikan
Pukulan keras yang menimpa dunia pendidikan baru-baru ini menjadi sorotan tersendiri. Kasus dosen yang dibunuh oleh mahasiswanya sendiri, ataupun kasus bullying yang marak di lingkungan sekolah dasar dan kasus kekerasan seksual di lingkungan pelajar membuat kita prihatin. Serentetan peristiwa ini menciderai proses pendidikan yang telah diramu oleh Pemerintah dan dieksekusi oleh para tenaga pendidik.
Karena sangat terlihat moral anak bangsa yang semakin merosot. Dari kasus tersebut, sangat penting menanamkan nilai-nilai norma etika dan karakter pada peserta didik sehingga menghasilkan generasi yang tak hanya pandai secara akademis tetapi juga berkepribadian luhur.
Kita ambil satu contoh, misalnya ilmu norma etika yang dipelajari di bangku sekolah akan berhasil ditanamkan jika setelah anak berhambur dalam lingkungannya dia bergaul dengan lingkungan masyarakat yang menjunjung norma etika. Sebaliknya, jika anak mengenyam pendidikan yang sebaik apapun di bangku sekolah, tetapi lingkungan masyarakat anak tersebut adalah lingkungan yang buruk (semisal “kampung lokalisasi” atau “komunitas geng motor” atau yang lainnya ) maka akan menjadi sia-sia penanaman nilai nilai karakter di sekolah. Karena yang terjadi pada mereka adalah adanya “value confusing”atau kebingungan mana nilai nilai yang dianggap benar.
Contoh lainnya adalah dalam pendidikan Agama kita diajari tentang tidak bolehnya zina, pentingnya akhlak dan nilai kebaikan lainnya. Tetapi di sisi lain, masyarakat disuguhi oleh fenomena media yang membanjiri sosok-sosok public figure ‘mantan pezina’ yang masih menuai pujian dalam panggung hiburan. Atau sosok-sosok negarawan yang masih bisa diterima meskipun sedang ramai diperbincangkan tersangkut kasus korupsi. Dua contoh itu baru contoh kecil tentang pentingnya keterkaitan pendidikan formal dengan lingkungan masyarakat.
Keseriusan Negara dan Mayarakat
Dari sanalah, perlu kita soroti tentang keberhasilan pendidikan dapat ditentukan oleh keseriusan negara menfasilitasi pendidikan sebagai penyelenggara. Di sisi lain, masyarakat hadir sebagai penguat agar tak terjadi “value confusing” atau kebingungan pandangan terhadap nilai-nilai yang benar. Kembali lagi, masyarakat tak mungkin terwujud menjadi masyarakat yang beradab jika negara masih setengah hati memberantas penyakit sosial yang diidap oleh masyarakat, dan upaya pemerintah mengontrol tayangan-tayangan media. Dari sinilah sinergi antara pemerintah dan masyarakat dapat mewujudkan nilai-nilai norma etika ataupun karakter pendidikan untuk masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H