Pencapaian mimpi-mimpi sangat lekat pada kehidupan kita. Entah itu adalah mimpi yang berukuran "kecil" ataupun mimpi-mimpi "besar" tergantung sudut pandang kita menilainya. Saya, seperti kebanyakan orang lainnya hidup sedari kecil di tengah buaian mimpi untuk mewujudkannya. Sedari kecil saya sangat menginginkan untuk menjadi seorang dokter. Iya, merupakan cita-cita yang paling keren pada Generasi 90-an, bukan?. Pencapaian demi pencapaian pun saya tempuh untuk sampai pada cita-cita masa kecil saya.
Saya semenjak SD hingga SMP berprestasi di kelas maupun paralel, aktif mengikuti ekskul pilihan yang mengarah ke mimpi saya untuk menjadi seorang dokter. Namun, seperti itulah kehidupan. Semenjak menginjak SMA kompetisi yang semakin mencengkeram anak remaja saat itu, diperparah dengan kemampuan ekonomi keluarga yang tidak mendukung, menyadarkan saya untuk berlapang dada dan mengurungkan niat mengejar mimpi 'terpopuler' anak negeri ini. Namun saya tak pernah surut untuk mencari mimpi yang sesuai dengan passion yang seirama.
Singkat cerita, saya dapat masuk jurusan Kebidanan di salah satu Perguruan Tinggi Negeri Kesehatan. Sedari sinilah babak baru dalam perjuangan mimpi dimulai, saya merasakan akan menemui titik temunya. Iya! Saya akan mengejar cita untuk menjadi seorang Bidan. Bukankah profesi ini begitu mulia setali tiga uang dengan dokter?.
Dengan mengerahkan segala kemampuan saya, didukung penuh oleh Orang tua, saya berangkat merantau. Mengenyam pendidikan kesehatan sebagai seorang bidan. Pendidikan kesehatan yang terlihat dari luar adalah pendidikan yang gagah pun saya jalani. Tak seindah yang orang kira, menempuh pendidikan di Kesehatan memang membutuhkan mental baja, fisik yang kuat dan jiwa yang ikhlas. Semakin terasah keterampilan dan terbuka hati ketika praktik klinik demi praktik klinik di lapangan saya rasakan.
Semakin menyadarkan bahwa sosok bidan adalah "pahlawan wanita luar biasa" yang dari tangan-tangannya lah generasi-generasi penerus bangsa dilahirkan. Pertama kali menolong persalinan, meskipun pada saat itu masih melihat (karena masih mahasiswa) menjadi pengalaman yang luar biasa. Tangis haru, bahagia, bangga, dan rasa lain yang tak mampu dilukiskan oleh seorang ibu yang bersalin ketika melihat buah hatinya membuka mata. Saya pun yang berada di samping ibu, ikut merasakan perasaan dan kesan luar biasa itu. Pengalaman-pengalaman berharga lainnya saya rasakan untuk menempa diri menjadi seorang bidan yang luar biasa.
Tiga tahun saya selesaikan pendidikan Ahli Madya saya, menghantarkan saya untuk memperjuangkan mimpi ini. Saya belum merasa puas dengan bangku pendidikan 3 tahun itu. Saya lengkapi kemampuan saya untuk melanjutkan jenjang D4 Kebidanan. Dari sinilah, kesadaran diri saya mulai terbuka. Kuliah saya tempuh diiringi dengan bekerja di salah satu klinik Bersalin.
Tak jarang pagi saat kuliah, saya mengantuk karena malamnya ada partus (bersalin). Mimpi akan tercapainya menjadi seorang bidan tak pernah padam sedari awal saya berinteraksi dengan ibu hamil, bersalin, dan anak. Seusai mengantongi ijazah D4 saya mengabdikan diri untuk bekerja di Rumah Bersalin. Memang, saya akui tak bertahan lama saya bekerja disana. Namun episode menjadi bidan yang seutuhnya saya dapatkan dari sini. Dan dari sinilah, saya sadar Mimpi saya belum cukup sampai disini. Ada hal yang saya rasa tak terselesaikan ketika saya menjadi seorang bidan melihat realita pasien yang beragam permasalahannya. Ketika melihat dan menolong kasus-kasus ibu yang membutuhkan rujukan namun ter-dzalimi oleh adanya jaminan kesehatan berbelit-belit, ketika melihat realita remaja wanita usia yang sangat dini berkonsultasi tanpa suami, dan ketika melihat serentetaan masalah lainnya dalam kesehatan ibu dan anak, saya tersadar ini permasalahan yang seragam dan berulang.
Jika kita mengetahui teori Perubahan Sistem, kita akan sangat memahami sistem kesehatan sangat butuh perubahan. Saya harus menjadi lebih dari sekedar seorang bidan, bukan bermaksud meninggalkan mimpi yang sudah saya raih tetapi memperdalam mimpi itu. Saya tersadar, mimpi yang besar bukanlah hanya terletak pada "seberapa besar gaji rekenig yang kita terima" atau jabatan apa yang telah kita peroleh, ataupun nilai materi lainnya.
Tetapi seberapa anda bernilai dan bermanfaat untuk orang lain. Menjadi sosok yang peduli akan permasalahan masyarakat adalah keniscayaan. Dari sinilah saya merasa akan "merestorasi" mindset mimpi saya. Yang awalnya ingin menjadi seorang tenaga kesehatan yang bermakna untuk satu dua orang ibu hamil dan bersalin, saya ubah haluan mencetak bidan yang mampu menurunkan Angka Kematian Ibu Indonesia yang masih tinggi.
Saat inilah, proses restorasi mimpi saya bermula dan akan terus saya perjuangkan, hingga menemui saya di titik ini. Titik dimana saya pernah mengajar calon-calon bidan. Berlanjut pada mengenyam pendidikan yang lebih tinggi hingga detik ini saya menikmati detak mimpi-mimpi itu menghantarkan saya ke capaian mimpi yang lebih hanya sekedar definisi materi. Proses tempaan di S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat dengan Konsentrasi Kesehatan Ibu dan Anak yang saya jalani ini semoga menemui titik restorasi mimpi itu. Dimana kepedulian kita pada masalah masyarakat, terutama kesehatan masyarakat akan menghantarkan pada restorasi sistem kessehatan yang lebih baik dan terbaik pula.
Inilah sedikit coretan seorang bidan yang ingin menggapai setelah restorasi mimpi itu dipahaminya. Semoga menjadi inspirasi untuk kita tak pernah puas dan cukup pada mimpi mimpi saat ini dan mungkin definisi mimpi itu sendiri. Tak hanya kecil dan besarnya ditentukan oleh materi, namun terletak pada kesadaran akan makna diri untuk sekitar lebih besar lagi dan lagi.