Lihat ke Halaman Asli

Menjaga Energi Kita

Diperbarui: 15 Desember 2015   00:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Foto: Dok BUMN"][/caption]

Di jalanan yang cukup sepi, seorang pria mendorong motor. Di belakangnya, seorang wanita menggendong anak. Jarak antara pria dan wanita itu seperti suami istri. Saya, yang kebetulan berpapasan melihat, menghampiri keduanya. Saya bertanya, ada apa dengan motor yang dituntun.

"Kehabisan bensin, Mas," jawabnya dengan tegas dan sopan. Saya menawarkan bantuan, bagaimana supaya motornya sampai di SPBU terdekat. Dia menolak secara halus, "Sudah dekat. Ada bensin eceren kok, Mas. Matur nuwun, Mas," katanya santai.
Indonesia ibarat motor itu. Bayangkan, tanpa energi kita tidak bisa berbuat apa-apa atau kita akan bergantung pada negara lain. Tak ubahnya bantuan yang saya tawarkan itu, negara lain dengan motif ekonominya tentu senang sekali menawarkan bantuan kepada kita.

Krisis Energi?
Sedikit provokatif memang subjudul ini. Tapi inilah faktanya, poduksi energi kita mulai mengkhawatirkan bila angka produkai saat ini disandingkan dengan angka kebutuhan komsumsinya. Misalnya, salah satu sektornya, bahan bakar minyak (BBM), angka kebutuhannya sangat besar dibandingkan angka produksi. Bayangkan, tahun 2014, produksi BBM hanya 792 barel per hari. Sementara kebutuhan konsumsinya mencapai 1,9 juta barel.
Berdasarkan catatan Outlook Energi 2014, konsumsi energi meningkat 4,1 persen tiap tahun. Dengan mengonsumsi energi sebesar 117 juta TOE, kita menjadi negara konsumen energi terbesar di Asia Tenggara.
Rumah tangga, kendaraan bermesin, dan industri merupakan tiga sektor penyumbang tingginya angka konsumsi energi di dalam negeri ini. Setiap tahunnya pertumbuhan manusia di negara kita tak terbendung. Laju penjualan kendaraan, seperti motor dan mobil, rata-rata di atas 10 persen setiap tahunnya. Industri apalagi, akan terus berkembang seiring pertumbuhan manusianya.
Sebenarnya, krisis energi ini terjadi pada energi yang bersumber dari bahan fosil. Dengan kemampuan eksplorasi dan ketersediaan cadangan seperti saat ini, krisis energi di negara kita bukan tidak mustahil akan segera terjadi. Hal ini sedikit debateble memang sifatnya. Ada pihak yang menyatakan bahwa krisis energi telah terjadi. Ada pihak lainnya yang menyatakan bahwa kita masih berada di ambang krisis atau menuju tahap krisis, yang berarti belum mengalami krisis.
Dalam satu kesempatan di seminar publik, Menteri Sudirman Said mengutip hasil pengamatan Profesor Soebroto. Ia menyatakan krisis energi sedang mengancam negeri kita. Dalam kurun 12 tahun ke depan, cadangan minyak akan habis. Namun, Sudirman menjelaskan, ancaman krisis bukan berarti cadangan minyak telah habis dan harapan untuk memproduksi sendiri telah punah.
Di sisi lain, bukan berarti kita tidak memiliki sumber energi lain. Bukan berarti sumber energi di negeri kita sama di ambang batas kepunahan. Pandangan itu salah. Negara kita masih memiliki alam yang luas, dengan potensi energinya yang sangat berlimpah. Tentu, satu sumber energi yang berlimpah itu ialah energi terbarukan atau sumber energi alternatif.

Tata Kelola
Tata kelola adalah satu aspek yang harus dilakukan dengan baik. Kalau tidak, apa jadinya bangsa kita? Pasti tak terbayangkan satu negara tanpa energi. Ibarat pengguna motor tadi, mana mungkin motor nyala tanpa bensi (BBM).
Masalahnya, tata kelola energi belum mengoptimalkan potensi energi yang ada di dalam negeri. Banyak fakta untuk membuktikan hal ini.
Pertama, tidak maksimalnya regulasi yang mengatur produksi migas di dalam negeri. Potensi minyak bumi, misalnya, masih jauh lebih besar dibandingkan kemampuan produksinya. Kilang-kilangnya belum memadai untuk memproduksi dan eksplorasi minyak bumi di dalam negeri. Wajar saja bila kita masih impor minyak bumi. Padahal, melalui regulasi tata kelola produksi minyak di dalam negeri, negeri kita bisa menekan angka impor atau bahkan bisa saja mencukupi kebutuhan dalam negeri.
Kedua, tidak adanya regulasi yang menekan penjualan kendaraan bermesin. Di dalam Outlook Energi 2014 dituliskan, konsumsi energi dalam sektor kendaraan bermesin merupakan konsumsi terbesar. Padahal, bila penjualan motor dan mobil pribadi bisa ditekan, bukan tidak mungkin angka konsumsi dapat diminimalisasi. Hal ini akan mendukung bagaimana angka produksi migas di dalam negeri dapat tercukupi melalui produksi migas kita sendiri.
Ketiga, regulasi tata kelola energi terbarukan belum mendukung realisasi produksi dan konsumsi. Lihat saja, berbagai data mencatat, konsumsi energi terbesar di negeri kita masih didominasi energi fosil. Di sisi lain, bukannya miskin potensi energi terbarukan, justru bahan-bahan untuk menciptakan energi terbarukan di negeri kita sangat melimpah.
Regulasi-regulasi itu menjaga energi negeri kita sendiri. Ya, mau tidak mau, untuk membuat mandiri dalam energi, negeri kita harus merealisasikan regulasi-regulasi tersebut.
Ibarat pengendara sepeda motor tadi, siapa lagi yang mengetahui dan mampu mengendalikan BBM sepeda motornya kalau bukan dia sendiri? Begitu pula kita, siapa lagi yang mengetahui dan mampu mengendalikan energi kalau bukan kita sendiri? Kita tentu tidak ingin negeri ini mogok seperti motor yang mogok di tengah jalan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline