Lihat ke Halaman Asli

Kritikus Populer

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Komedi yang Cerdas

Stand Up Comedy, itulah acara baru komedi yang belakangan sedang digemari publik televisi. Nuansa komedi kroyokan perlahan-lahan tergusur dengan adanya konsep individu yang memberikan tawa dengan sajian konsep yang dapat dikatan baru. Acara ini disiarkan oleh dua stasiun televisi dengan konsep masing-masing, yakni Kompas TV (konsep sayembara) dan Metro TV (konsep show atau sekadar pertunjukan). Terlepas dari perdebatan bahwa acara ini justru menambah pandangan buruk setiap acara televisi di Indonesia; acara televisi di Indonesia tidak kreatif, ikut-ikutan luar negeri. Ya, tahun 2003, Last Comic Standing digagas oleh NBC Network di Amerika Serikat. Artinya, Stand Up Comedy merupakan saduran dari Last Comic Standing.

Di Indonesia, Stand Up Comedy erat kaitannya dengan Raditya, Pandji, Butet, dan Indro ‘Warkop’, yang sering muncul di tiap acara berlangsung. Bukan ingin saya menelisik sejarah penggagas acara ini di Indonesia, tetapi inilah wajah komedi baru kita yang merepresentasikan kejenuhan terhadap acara-acara komedi sebelumnya, juga merupakan invasi produk budaya global ke Indonesia yang berdampak pada kemungkinan terjadinya monoculture di masa depan. Menelisik lebih jauh, yang saya telusuri dari dunia maya, ide Stand Up Comedy telah ada sejak abad ke-18, hingga Thomas Dartmouth “Daddy” Rice disebut-sebut sebagai kakek (meminjam istilah RollingStone) Stand Up Comedy. Ide itu mungkin berkembang dari tradisi komedi Yunani yang berasal dari mitologi Yunani atas kepercayaan masyarakatnya terhadap dewa Dionysus.

Sementara itu, konsep lokal yang diangkat menjadi warna komedi pop, OVJ (Opera Van Java), disiarkan salah satu stasiun televisi di Indonesia serta telah lebih dulu populer. Gaya khasnya adalah membuat mimik wajah jelek, memukul orang lain (seakan-akan penonton puas terhadap penderitaan orang lain), dan mengolok-olok pemain lainnya. Topik para komedian OVJ tidak luas seperti topik-topik yang diangkat Stand Up Comedy. Topik-topik Stand Up Comedy lebih segar dan luas. Bentuknya dengan kritikan. Comic –istilah untuk sebutan pelawak Stand Up Comedy- sering kali mengkritik para pejabat, ruang publik, layanan publik, lirik lagu dan sebagainya. Wajar bila dipandang acara ini sebagai acara yang cukup cerdas, sebab tidak melulu membuat tertawa tetapi ada nilai-nilai kritik yang dibawa comic.

Comic sebagai Kritikus

Istilah “kritik” berasal dari bahasa Yunani, yakni krinein. Artinya adalah “menilai”, sedangkan orang yang menilai atau penghakim disebut kritein. Pada hakikatnya, kritik bertujuan menyampaikan kebenaran lain secara objektif tanpa menutup diri serta menerima terbuka pandangan-pandangan orang lain.

Tradisi kritik dalam kemasan komedi sudah ada sejak dahulu di dalam budaya tradisional Nusantara. Bobodoran dari tradisi Sunda, dan tradisi pewayangan ada Petruk dan Semar. Tokoh-tokohnya tampil dengan fisik buruk yang memberikan nilai khusus untuk tawaan terhadap, kemudian secara lugas mengkritik kehidupan-kehidupan yang sekiranya tidak layak bagi diri mereka.

Para comic tidak sungkan menilai layanan publik dengan nada sindiran yang bertujuan mengkritik. Misalnya, salah seorang comic di Kompas TV sempat menyindir ketidaknyamanannya berada di busway atas layanan yang diskriminatif terhadap orang pendek seperti dirinya (comic) karena para penumpangnya selalu menunjukkan ketiak yang tidak sedikit berbau dan basah.

Comic layak disebut sebagai kritikus popular. Kemasan acara dikemas ke dalam sajian popular dalam televisi. Kita berharap comic mampu menghadirkan kekonyolan-kenyolan sosial, penyimpangan para politisi, maupun pendiskriminasian layanan publik yang disajikan dengan nuansa tawa seolah-olah menyepelekan hal yang ditertawakan. Oleh karena itu, meskipun SUC itu bukan konsep murni dari produsen siaran nasional kita, tidak berlebihan bila Stand Up Comedy mampu memberikan gaya barucara mengkritisi berbagai hal yang terkait terhadap kepentingan publik atau kepentingan masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline