Lihat ke Halaman Asli

Frederikus Suni

Content Creator Tafenpah

Komunikasi Antarbudaya, Kebebasan Berpikir tanpa Diskriminasi Doktrin

Diperbarui: 8 Juli 2024   18:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi komukasi antar mahasiswa yang berbeda budaya dengan berlatarkan pemandangan kota Jakarta.  Foto: Frederikus Suni/Tafenpah.com

Dalam komunikasi antarbudaya, setiap orang bebas menyuarakan suara hatinya, tanpa adanya tekanan dari salah satu doktrin atau ajaran yang terdapat di dalam lingkungan kehidupan bermasyarakat Indonesia.

Indonesia adalah negara besar dengan kekayaan budayanya. Harta karun kebudayaan tersebut, terlihat menawan dan sangat seksi bagi warga negara asing. Makanya, dari zaman pendudukan bangsa asing hingga saat ini maupun nanti, Indonesia akan tetap seksi dan menjadi magnetik bagi wisatwan.

Berdasarkan Laporan dari Badan Pusat Statistik, per Desember 2023, kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) di Indonesia mencapai 1,14 juta kunjungan. Jumlah ini naik sebesar 22,91 persen dibandingkan November 2023 (month-to-month) dan naik 20,17 persen dibandingkan bulan yang sama pada tahun lalu (year-on-year). Wisman yang berkunjung ke Indonesia pada Desember 2023 didominasi oleh wisman yang berasal dari Malaysia (18,45 persen), Singapura (16,41 persen), dan Australia (11,87 persen).

Merujuk pada peningkatan kunjungan wisatawan mancanegara atau Wisman tersebut, dapat memberikan insight atau pemahaman baru bagi kita untuk mencintai sekaligus meningkatkan 'sense of being (rasa keberadaan) sebagai warga Indonesia yang punya kekayaan alam beserta kearifan lokalnya. Selain, kita pun dituntut untuk meningkatkan 'sense of belonging/rasa memiliki serta 'sense of culture atau rasa kebudayaan'.

Motif atau alasan utama tersebut, pada metodologi lanjutan (kerangka berpikir untuk menemukan kebenaran), terutama kaitannya dengan bidang Filsafat, menjadi dasar/kompas/arah pemikiran kita tentang pentingnya memiliki pikiran terbuka dengan dunia luar.

Tentunya, paradigma di atas, penulis bukannya mencari pledoi atau alasan pembelaan. Melainkan, tentang perihal melepaskan diri dari ikatan doktrin yang selama ini menjadi momok atau batu sandungan bagi kita untuk melihat sesama serta kebudayaannya sebagai ancaman.

Untuk itu, dalam konteks ini, kita akan melihat bersama kehidupan masyarakat Yunani Kuno, terutama mindset atau paham tentang pikiran bebas, kritis, dan tanpa mereduksi etika dan norma yang berada dalam kehidupan bersama.

Meskipun di awal kehidupan masyarakat Yunani kuno sangat diwarnai dengan penyembahan atau pengakuan terhadap berbagai dewa dan dewinya. Namun, pada konteksnya, mereka sedang menjajal dinamikan pikiran bebas, tanpa adanya tekanan dari doktrin tertentu.

Produk dari kebebasan berpikir masyarakat Yunani kuno, akhirnya kita pun menikmatinya hingga saat ini dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline