Setiap tahun kita merayakan momen liburan bersama dengan keluarga di kampung halaman. Akan tetapi, kerinduan itu bagaikan kepingan kaca, terutama bagi mereka yang sudah lama kehilangan orangtua.
Memang, segala sesuatu di bawah langit pasti ada waktu dan massanya. Itulah teologi Kristen (Katolik dan Protestan).
Demikian pula, aliran kepercayaan lainnya, tentu saja memiliki filosofi semakna.
Meskipun berbeda kalimat, namun semuanya bermuara pada kerinduan.
Kerinduan perantau akan termanifestasi pada kehadiran orang tuanya di kampung halaman.
Lain kisah dan pemaknaan bagi perantau yang sudah lama kehilangan orang tuanya. Entah karena peristiwa kematian, bencana alam, dan berbagai faktor sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya.
Mereka (para perantau) akan lebih senang mudik ke kampung halamannya, bila kedua orang tuanya masih ada.
Karena cinta dan kerinduan yang sudah lama terpisah oleh jarak dan waktu, akhirnya dipersatukan dengan momen libur lebaran.
Sayangnya, liburan mudik perantau yang sudah tidak memiliki orang tua lagi, sama halnya menikmati makanan di pinggir pantai atau Padang Savana dengan desiran angin sepoi-sepoi, tapi tidak pernah merasakan momen tersebut, alias hambar
Berjuta warna kerinduan, kian tersebar di penjuru dunia. Karena mudik lebaran kian mendekati.