Jika kau mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang (Si vis Pacem, para bellum)
Rusia dan Ukraina adalah konco/sahabat terbaik sejak masih berada di bawah payung Uni Soviet. Uni Soviet yang condong ke paham komunisme tidak disukai oleh pihak Barat (Amerika Serikat) yang lebih bebas (Liberalisme).
Antara liberalisme dan komunisme memiliki semangat dan cita-cita yang berbeda. Di mana paham Liberalisme memberikan kebebasan mutlak, tetapi setiap orang bertanggung jawab dalam melakukan sesuatu. Sementara, komunisme menyuarakan apa pun yang dimiliki oleh negara itu adalah hak milik bersama.
Jika, saya kaji dari ranah Teologi, di sini adanya semangat persekutuan (comunal) dari ajaran para Rasul yang mengharuskan setiap orang yang berkumpul dalam lingkungan kecil, entah itu keluarga, wilayah maupun negara memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam melakukan sesuatu.
Baca Juga: Ukraina Timur dalam Ketakutan, NATO dan Amerika Serikat Naik Pitam
Semangat inilah yang mendorong Filsuf Karl Marx untuk mengajarkan semangat Komunisme kepada dunia.
Akan tetapi, ajaran Karl Marx ini bertentangan dengan semangat Kapitalisme yang lebih fleksibel dalam segala sesuatu. Artinya di dalam ruang publik, kebebasan politik dan ekonomi adalah hak setiap warga negara dan ketidakadilan sosial adalah hal yang wajar saja. Toh, itu kan dinamika kehidupan yang harus dilewatin oleh setiap orang.
Apa Hubungan Kapitalisme dan Komunisme yang terjadi antara Rusia dan Ukraina?
Secara ekonomi dan politik, kedua negara memang berbeda jauh, bagaikan langit dan bumi. Namun, secara historia, kedua negara memiliki relasi atau hubungan yang intim sebagai bekas negara Uni Soviet.
Akan tetapi, sejak tahun 2014, Rusia dengan paksa mengintervensi politik Ukraina dengan mencaplok wilayah Krimea, Ukraina Timur.
Tentu saja Ukraina tidak menerima perlakuan tersebut dari Rusia. Namun, Ukraina tidak punya kekuatan yang seimbang untuk melawan Rusia yang jumlah pasukan militernya berkali-kali lipat dari Ukraina.