Bertahun-tahun saya latihan menulis untuk menajamkan rasa dan logika. Hingga tahun ke-7 ini, saya pun belum bisa menulis dengan baik dan benar!
Anehnya, sekarang tuanku terhormat di daerah perbatasan RI-Timor Leste mengutus duta bahasa hingga pelosok-pelosok tanah Timor hanya untuk mengajarkan anak SD-SMA untuk menulis dalam beberapa hari. Lalu, foto dan posting di media sosial bahwasannya siswa didiknya sudah menulis dengan baik dan benar.
Hadeeeeeuh! Sadar tuanku! Untuk membangun literasi yang komprehensif itu bukan hanya semalam suntuk saja. Melainkan butuh bertahun-tahun untuk bisa posting di media sosial.
Inilah wajah keanehan kami di daerah terbelakang dan terluar RI-Timor Leste. Miris ketika saya melihat betapa bangganya mereka menggembleng generasi perbatasan RI-Timor Leste hanya dalam beberapa hari saja.
Cara pendekatan setiap anak pun berbeda. Tergantung dari karakternya. Apalagi di daerah pelosok RI-Timor Leste yang masih kekurangan fasilitas taman bacaan.
Anak-anak membaca saja pasti belum tahu dan paham apa yang mereka baca. Apalagi kegiatan menulis yang melibatkan semua panca indera kita. Durasinya pun singkat. Lantas, apa yang dibanggakan dari duta tersebut?
Perbandingan Pendidikan Indonesia dan Eropa
Indonesia
Sejak kita berada di TK hingga Perguruan Tinggi (PT), model pembelajaran kita berujung di ujian. Terlepas dari arah pendidikan sekarang yang sudah mulai mengarah ke praktek. Tapi, belum berjalan dengan koridornya.. Terutama wajah pendidikan NTT.
Eropa
Pendidikan di Eropa sejak TK, siswa belajar manajemen diri. SD siswa mengekplorasi linkungannya. SMP siswa menemukan passion (bakatnya). SMA siswa merancang karir masa depannya. Perguruan Tinggi (Kuliah) siswa membangun dan mematangkan skill dirinya. (Sumber; tradisi lisan berupa percakapan bersama rekan-rekan yang berasal dari Eropa maupun yang studi di Eropa, sewaktu masih berada di Seminari Katolik, khususnya Konggresi Internasional SVD yang mengadopsi model pembelajaran Eropa).
Pola Pikir (Mindset)
Persoalan ini kembali kepada tradisi kebudayaan Timur kita yang cenderung sulit untuk menerima masukan. Padahal di NTT, wajah pendidikan sedari dulu sudah dimonitor oleh Biarawan-Biarawati Katolik yang berasal dari Eropa.
Konsep dan model pendidikan sekolah yang berada di bawah Yayasan Katolik sejatinya sudah menerapkan pola pendidikan Eropa. Namun, pasca kembalinya sekolah-sekolah Katolik ke tangan Pemda, model pembelajaran itu perlahan-lahan diganti dengan Sistem Pendidikan Nasional.
Nahas! Apa yang sudah dibangun oleh Biarawan-Biarawati Katolik Eropa selama bertahun-tahun hanya dalam beberapa tahun hilang begitu saja.