Malam kembali menyapa kalbu. Aku terpesona akan keindahan gemerlap kota Metropolitan Jakarta.
Jakarta adalah pusat perekonomian Nasional. Aku adalah bagian dari ribuan anak desa yang berlomba untuk menikmati hujan rupiah di kota Jakarta. Selain menikmati hujan rupiah, aku juga menikmati kelap-kelip kota Perekonomian Nasional yang akhir-akhir ini makin lesu.
Lesunya perekonomian Nasional di quartal pertama tahun 2021, disebabkan oleh Pandemi Covid-19. Dampak melemahnya perekonomian Nasional, turut memberikan pukulan yang telak di batang hidup para perantau.
Bukan hanya perantau, tapi semua orang mengalami jeritan suara mesin ATM yang mulai kembang-kempis di quartal I 2021.
Selain krisis perekonomian, ada krisis rindu, krisis identitas yang menyebabkan banyak masalah. Memang masalah tak akan pernah berhenti menemani keseharian kita.
Terkadang aku mau bersikap bodoh amat. Tapi, aku selalu terbentur pada krisis rindu. Ya, aku rindu suasana liburan, canda tawa bersama keluarga, sahabat, kenalan dalam dunia nyata. Tapi, rasanya tak mungkin seperti dulu lagi. Karena komunikasi virtual telah mengambil alih percakapan aku dan diriku yang lain di dunia nyata.
Selain rindu, aku juga mengalami krisis identitas. Aku kehilangan jati diri, tatkala aku sulit mencerna aliran darah yang terus berkejaran, melintasi langit malam kota Jakarta. Seberkas sinar malam, kembali menggerogoti kartu memoriku seputar ekonomi raksasa dan kurcaci.
Istilah ekonomi raksasa dan kurcaci adalah bagian dari krisis identitas aku dan diriku yang lain (Liyan).
Ekonomi raksasa terus berencana dan beretorika akan berbagai kemungkinan yang terjadi, tatkala tak ada "action real "atau tindakan nyata. Sementara, ekonomi kurcaci berjuang untuk memecahkan keperawanannya. Alhasil, tak disangka-sangka, ekonomi kurcaci bangkit dan lari mendahului ekonomi raksasa.
Aku tahu, pasti anda berpikir bahwa, ekonomi raksasa adalah orang-orang kaya. Sementara ekonomi kurcaci adalah rakyat jelata kan? Bila anda berpikiran demikian, maka anda salah menafsirkannya!