Lihat ke Halaman Asli

Frederikus Suni

Penulis || Pegiat Konten Lokal NTT || Blogger Tafenpah.com

Apakah Salah, Bila Aku Menjadi Viral?

Diperbarui: 21 Februari 2021   11:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keceriaan tatkala aku menjadi viral di dalam jagat maya. Foto oleh Wendy Wei dari Pexels.

Viral karena prestasi yang membanggakan keluarga, kampung halaman, bahkan negara sendiri adalah sesuatu yang sangat memiliki "value" atau nilai dalam kehidupan bersama. Tapi, viral karena ingin mencari ketenaran adalah hal yang sangat memalukan! Apalagi tokoh panutan dalam kehidupan bermasyarakat.

Akhir-akhir ini, banyak orang waras, termasuk saya ingin viral. Tapi, tak viral-viral. Astaga bang jago, ingat usia! Karena kamu bukan anak kecil lagi yang ingin mencari pusat perhatian! Bisikan suara hatiku, kembali menyadarkan saya dari lamunan yang sangat panjang di bawah pohon kelapa.

Barangkali saya tidak ditakdirkan untuk viral dengan cara yang memalukan. Anehnya, banyak sosok panutan yang tetiba menjadi viral di media sosial, Twitter karena cuitannya yang mengundang kontroversi.

Kontroversi budaya viral sudah menjadi ladang yang sangat menjanjikan di era digital. Lantas, apakah ke depan ada profesi baru yang lahir dari budaya viral? Jawabannya ya. Karena di dunia ini tidak ada yang mustahil. Di mana, hal yang tidak pernah terbayangkan, akhirnya menjadi kenyataan dalam hidup. Inilah misteri yang sulit dipahami dengan akal budi.

Produk akal budi dapat melahirkan profesi apapun. Terutama dalam setiap situasi. Sekilas kita melihat dunia Buzzer dan Influencer lahir dari era digital. Dan masih banyak lagi profesi yang belakangan ini digandrungi oleh siapapun.

Siapapun yang menjalani kehidupan di era digital, pasti terkontaminasi dengan pengakuan di dalam media sosial. Ketika tak ada pengakuan di dunia nyata, kebanyakan dari kita memilih untuk mencari pusat perhatian di jagat maya.

Sindrom ingin diakui di jagat maya, berakibat pada kemerosotan akal budi. Akibatnya, kita mencari sensasi, demi mendapatkan pengakuan di jagat maya.

Ketika kita sudah mendapatkan pengakuan di jagat maya, muncul lagi masalah baru. Rentetan kecemasan terus mengejar kita untuk semakin mencari pusat perhatian. Akibatnya, kita mengabaikan norma dan etika dalam kehidupan bersama.

Norma dan etika merupakan pedoman kita dalam melakukan sesuatu. Tapi, rasanya kita sudah tidak membutuhkan norma dan etika lagi. Karena, kita mematuhi norma dan etika hanya karena takut kena hukuman. Bukan berdasarkan kemauan dari dalam diri.

Dilematika ini memantik kontroversi dalam keseharian kita. Searah jarum jam dinding, saya mencoba untuk berkontemplasi, sembari menginterpretasikan perjalanan hidup saya seputar mematuhi norma dan etika dalam kehidupan bersama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline