Sumber permasalah utama dalam kehidupan berkeluarga adalah psiko emosional.
Psiko emosional yang matang, rumah tangga pun terawet. Psiko emosional menyangkut pengenalan diri, baik kelebihan maupun kelemahan. Mengenali kelebihan dan kekurangan diri sendiri, akan mempermudah kita menerima kelemahan pasangan.
Materi yang berlimpah, popularitas yang mumpuni di segala bidang, tak akan mempan dengan kelemahan psiko emosional. Psiko emosional ibarat fondasi rumah. Bila fondasi rumah dibangun di atas dasar yang kokoh, bangunan rumah pun akan tetap berdiri kokoh dalam segala permasalahan hidup.
Bullshit! Bila dalam kehidupan berkeluarga tak ada permasalahan. Permasalah itu universal. Layaknya kebahagiaan dan kesedihan itu universal. Artinya, setiap orang pasti dan selalu mengalami masalah, kebahagiaan dan kesediahan.
Masalah, kebahagiaan dan kesedihan bisa diolah dengan psiko emosional. Melatih psiko emosional bukan hanya semalam suntuk saja. Melainkan dilatih sepanjang hidup.
Saya tahu pasti kamu mencibir bahwasan saya belum menikah, tapi sok bijak! Ya, memang saya masih lajang. Tapi, menyangkut pengalaman berjumpa dan sharing dengan lintas profesi, agama, rasa dan budaya, turut memberikan pengalaman baru bagi saya dalam memahami semak-beluk kehidupan pernikahan.
Sebagai bukti empirik, saya pernah menangani salah satu ranting WKRI (Wanita Republik Indonesia) di kota Malang. Tepatnya, di St. Thomas, Paroki Tidar, Keuskupan Malang tahun 2018.
Bayangkan seorang anak muda yang mendampingi ibu-ibu rumah tangga, bahkan Oma-Oma pun saya gembleng dalam terang Iman Katolik. Ya, waktu itu status saya sebagai calon Imam Katolik (Frater).
Terlepas dari visi dan misi WKRI, tentu kita tahu bahwasannya, di mana ada kumpulan ibu-ibu, topik pembahasan mereka tidak terlepas dari ngerumpi atau pun curhat permasalahan kehidupan bersama pasangan mereka.
Saya menyimak, sesekali diminta untuk memberikan insight seputar terang imam Katolik tentang pentingnya persiapan mental (Psiko Emosional) dalam menjalin kehidupan berkeluarga.