Lihat ke Halaman Asli

Frederikus Suni

Penulis || Pegiat Konten Lokal NTT || Blogger Tafenpah.com

Di Balik Jendela Aku Bertanya (?)

Diperbarui: 4 Februari 2021   16:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di balik jendela, aku bertanya (?). Foto oleh Tatiana dari Pexels

Senjakala aku memutuskan untuk mengintip imajinasi dibalik tirai besi jiwaku. Ada sesuatu yang berusaha untuk keluar dari dalamnya. Namun, rasanya ada penghalang imajinasi. Haaaaaaaa? Berat memang aku berusaha untuk mengibas segala impian yang berserakan di balai bambu istanaku.

Setelah sekian lama tak bersua dengan produk imajinasi, rasanya sakit bangat. Tapi, ya aku tak bisa berbuat apa-apa, selain aku memandang keluar melalui pintu jendela, lalu aku bertanya.

Bertanya adalah momen yang sangat mengganjal di dalam benak hatiku. Karena dari sekian banyak nada, tiada satu pun yang seirama dengan dinamika pertanyaanku. Aku bukan penganut paham skeptis, apalagi satiris. Tapi, saat ini aku sudah menuju ke arah kedua paham itu.

Apa? Sontak jiwaku yang lain saling bersahutan, sembari melemparkan senyuman khas penyebar sukma ke arah khayak yang kian tak terbendung untuk ikut mengintip imajinasi.

"Apakah produk imajinasi bisa melahirkan paham satiris dan skeptis?" Tanya diriku yang lain dibalik tirai bambu istanaku. Sembari mengibas produk-produk liar di dalam alam pikiranku, aku hanya menjawab, "ku tunggu sampai kau melepaskan birahimu di ujung jembatan."

Di ujung jembatan itu, ia menatap tajam, setajam paham satiris yang berkali-kali ia lontarkan kepadaku. Namun, aku sudah tahu dengan karakernya. So, aku memilih untuk berdam diri, sembari menikmati panorama alam yang ditawarkan pada senja hari.

Senja membutuhkan malam untuk menemaninya. Sementara aku membutuhkan jawaban yang pasti dari dirinya. Tapi, aku hanya menemui nihilisme (kehampaan). Sebab, ia tak bisa menjawab pertanyaanku.

Tak sadar, aku dan diriku yang lain terlena dalam absurditas (ketidakpastian). Aku dan dia hanya berusaha untuk menyeimbangkan logika dan rasa diantara senja dan potretan jembatan imajinasi.

Absurditas (ketidakpastian) semakin mengejar aku di bawah mentari esok harinya. Aku masih penasaran dengan apa yang tersaji di dalam istanaku. Karena semakin ke sini, hati dan pikiranku melayang, sembari mencari kenikmatan di luar panggung akselerasi ribuan jiwaku yang lain.

Aku pun mengarahkan mataku ke salah satu pojok rahasia, ternyata di sudut istimewa itu aku menemukan sepucuk surat cinta. Tapi, aku tak bisa membuka surat cinta itu. Karena ada misteri tersembunyi yang belum diketahui oleh aku dan diriku yang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline