Lihat ke Halaman Asli

Frederikus Suni

Penulis || Pegiat Konten Lokal NTT || Blogger Tafenpah.com

Menjelajahi Dunia Gunung Kawah Ijen

Diperbarui: 22 Agustus 2020   14:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Dok Pri

Menjelajahi dunia adalah impian terbesarku selain menulis. Kolaborasi dari dua entitas menulis dan menjelajahi dunia adalah bagian kesenangan dalam hidupku.

Setahun yang lalu, saya mengejar blue fire/api biru di salah satu tempat wisata yang berada di Banyuwangi Jawa Timur. Di keheningan alam serta kabut malam, saya berjalan menyusuri labirin semesta Gunung Kawah Ijen. Jalanan terjal dan menantang telah saya lewati dalam payung penasaran.

Rasa penasaran akan kehadiran blue fire telah  menerbangkan saya di antara pelangi dan realita.  Antara pelangi dan realita berpadu dalam dentik-dentik nada dari Sang Pengada. Irama Sang Pengada bertautan erat dalam pandangan mataku. Sejauh mata memandang, ada kekuatan maha dahsyat yang tersembul dari alam pegunungan Kawah Ijen. 

Jam tanganku menunjukkan pukul 01.00 WIB. Saya membayar karcis di depan pos Paltuding. Sembari saya membungkus dingin malam dalam suasana penasaran. Pos Paltuding adalah gerbang menuju puncak penasaran Kawah Ijen. 

 Sekadar catatan yang saya dengar dari tour guide adalah "blue fire" hanya ada dua di seantero bumi. Salah satunya ada di negeri  Islandia dan Banyuwangi. Saya bangga akan bumi pertiwi yang kaya akan sumber daya manusia dan alamnya. Gunung Kawah Ijen terakhir meletus tahun 1999. Saya kaget dengan tahun 1999. Karena waktu itu saya masih berusia lima tahun.

Perjalanan menuju puncak memakan waktu dua jam. Saya mulai menjelajahi keindahan alam kosmos gunung Ijen ditemani oleh tour guide yang sudah berpengalaman dalam menelanjangi keindahan gunung Ijen pada malam hari. Sebenarnya ada jasa pengantar menuju puncak, tapi saya tak mau menyewanya. Semangat untuk menelanjangi keperawanan gunung Ijen semakin membara dalam diriku.

Aroma dingin semakin terasa ketika saya sudah berada di tengah pendakian, tepatnya di pos perhentian pada pukul 02.00 WIB. Satu-satunya pos perhentian yang berada di jurang kawah Ijen. Letaknya sangat strategis. Karena selain menyuguhkan pemandangan yang indah pada malam hari, ada aroma kopi yang ditawarkan oleh pemiliknya. Aneka jenis kopi tersedia, tergantung pilihan kita. Salah satu kopi nusantara yang saya cari adalah kopi Manggarai.

"Mas kopi Manggarai ada ngak?"

"Maaf mas kopi Manggarainya sudah ludes terjual." Sembari ia menunjuk salah seorang turis yang sedang menyeduh secangkir kopi untuk menghangatkan aroma dingin malam gunung Ijen. Aku hanya menikmati aromanya. Kopi Manggarai adalah salah satu jenis kopi yang sudah mendunia. Eksistensi kopi Manggarai semakin menyihir dan menembusi gelapnya malam perjalanan menuju puncak gunung Ijen. Tak apalah, intinya saya sudah mendekati puncak.

Rasa lelah, kantuk, capek, jeritan, putus asa, kini sirna bersama aroma kopi luak khas Bali yang ditawarkan oleh pemilik kedai kopi. Sembari menyeduh secangkir kopi di tengah pendakian gunung Ijen, saya berdialog dengan diriku yang lain. Salah satu partner dialog saya adalah tour guide. Ia semakin menghipnotis diriku dengan ilmu ramalan yang membuat saya terkesima. Antara setuju dan tidak setuju dielaborasikan dalam mencari eksistensi dari kehidupan. Ia berpikir karena ia ada.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline