Lihat ke Halaman Asli

Fredric Chia

Fredric Chia adalah praktisi Feng Shui, pembaca tarot, dan penulis budaya Tionghoa yang tinggal di Kalimantan. Dia melayani konsultasi Feng Shui dan Tarot online untuk orang yang penasaran secara spiritual. Sejak diluncurkan pada tahun 2016, Fredric telah membantu ratusan wanita dalam mengatasi ketakutan mereka dalam mengikuti impian mereka melalui konsultasi spiritual, berkat, dan layanan curhat.

Identitas Tionghoa Indonesia (Bagian 2): Chindo tapi Tidak Bisa Berbahasa Mandarin

Diperbarui: 3 Mei 2023   18:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi meme Pedagang Tionghoa yang sedang kesal. | Karya Nilsen Kwa

Pernakah kita bertanya-tanya mengapa orang Tionghoa di Indonesia banyak yang tidak bisa bahasa Tionghoa?

Ada berbagai faktor yang menyebabkan hal ini terjadi. Pertama, Orang Tionghoa Indonesia di zaman dulu ternagi menjadi dua yaitu Totok dan Peranakan. Tionghoa Totok merupakan pendatang asli dari Tiongkok dan masih kental akan bahasa dan budaya. Sedangkan Tionghoa Peranakan keturunan kawin campur Pria Tionghoa dengan Wanita Pribumi.

Sejak masa kolonial Belanda banyak orang Tionghoa Peranakan di Jawa yang tidak bisa lagi berbahasa Tionghoa khususnya etnis Hokkien yang hanya bisa medok bahasa Sunda dan Jawa. Bahasa ibu bagi Tionghoa Peranakan umumnya adalah bahasa Melayu Tionghoa (Baba) yang masih dituturkan oleh Komunitas Tionghoa Benteng yang hampir sama seperti yang digunakan di Malaysia dan Singapura.

Sementara, Tionghoa Totok masih mempertahankan budaya Tionghoa secara murni dan berbicara bahasa logat masing-masing seperti Teochew, Hokkien dan Hakka. Dalam sistem pengajaran bahasa Tionghoa di Indonesia bagi kaum Peranakan digalakan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terutama saat berdirinya Tiong Hoa Hee Kwan atau sekolah Tionghoa yang dengan tujuan mengajarkan kebudayaan Tionghoa dan ajaran Kong Hu Cu. Hal ini seiring dengan kebangkitan Nasionalisme Republik Tiongkok.

Pada tahun 1967 memasuki rezim Orde Baru, pemerintah melakukan kebijakan diskriminasi mengenai pelarangan bahasa dan kebudayaan Tionghoa. Ketika itu sekolah-sekolah Tionghoa ditutup semua, hingga membatasi tradisi dan kegiatan budaya Tionghoa. Akibat kebijakan ini orang Tionghoa Totok banyak yang tidak bisa bahasa Tioghoa lagi dan beralih dari Totok ke Peranakan.

Setelah rezim Orde Baru runtuh, di zaman Reformasi ini mengalami Sinofikasi dan Inkulturasi kembali, dimana kebudayaan Tionghoa diizinkan kembali dan Bahasa Mandarin diperbolehkan untuk umum dan menjadi bahasa Asing populer di institusi pendidikan. Sebagai generasi muda Tionghoa tidak ada salahnya kita untuk mempelajari kebudayaan dan akar sejarah kita dan sekarang kita bisa bebas mempelajari bahasa Tionghoa.

Penulis: Nilsen Kwa

Editor: Fredric Chia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline