Lihat ke Halaman Asli

Frederikus Magung

Mahasiswa STFK Ledalero, semester V

Terawan dan Etika Publik: Wacana "Kursi Kosong"

Diperbarui: 8 Oktober 2020   12:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pngitem.com

     

Wacana kursi kosong menuai banyak kontroversi parsial. Aksi wawancara kursi kosong yang seharusnya diduduki oleh Menteri Kesehatan RI, Terawan Agus Putranto di program Mata Najwa, mendadak viral. 

Penolakan Terawan mesti menjadi bahan refleksi konstruktif terhadap konsolidasi demokrasi Indonesia, terlebih khusus dalam konteks terkait penanganan Covid-19 yang kian hari, massif bertambah. Najwa Shihab terlihat bermonolog dengan wawancara kursi kosong. Aneh, bukan?

Hemat saya, ini sedikit aneh dengan jurnalisme kita saat ini. Tapi dengan keanehan jurnalis(me), seorang Najwa dengan pengetahuan yang kompetitif dan pengalaman yang mumpuni ingin mempertanyakan kepada publik perkembangan penanganan covid-19 di indonesia.

Atensi Najwa wacana kursi kosong meski dilihat dari beberapa hal. Pertama, Najwa melihat bahwa total kematian resmi global akibat covid-19 kemungkinan lebih kecil dari jumlah yang sebenarnya. Artinya menurut WHO, jumlah kematian di seluruh dunia sudah mencapai di atas 35 juta kasus. Melansir data laman worldmeters, senin (5/10/2020), jumlah kasus covid-19 yang telah dikonfirmasi di dunia sebanyak 35, 38 juta kasus.

Pada tataran nasional, Indonesia, jumlah konfirmasi covid-19 mencapai 303.498 kasus, pada minggu (4/10/2020). Maka demikian, pemerintah terkait tidak boleh tinggal diam perkembangan senyap wabah ini. 

Kedua, secara politis, tugas jurnalistik menitikberatkan pada kebutuhan, pun kepentingan publik. Jurnalisme menjadi public control menyampaikan aspirasi, serta opsi lain, publik ingin melihat kinerja orang-orang yang berkepentingan dalam suatu negara. Kode etic jurnalisme, tentu tidak ingin dialienasi oleh kepentingan parsial pejabat publik. Maka, kebutuhan publik menjadi tolok ukur demokratisasi dalam lanskap jurnalistik konstruktif. 

Ketiga, rendahnya aksebilitas, serta kapabilitas seorang pemimpin. Pemimpin, dalam hal ini Terawan, tidak bisa mempertanggungjawabkan kepetingannya kepada publik. Karena itu, Najwa ingin membongkar kemapanan ini dalam suatu acara media jurnalistiknya, Mata Njawa. 

Hakikatnya, tugas seorang wartawan adalah menelisik, mengolah, menulis serta melaporkan tentang berbagai topik atau berita, lalu mempublikasikan ke media masa publik seperti televisi, surat kabar dan stasiun radio.

Kehadiran seorang Najwa setidaknya tersingkap nilai solidaritas ruang publik dalam suatu bangsa yang terwujud dalam jurnalistik yang demokratis. Esensi ruang publik, meminjam istilah Habermans, sebagai wadah pembentukkan opini dan aspirasi diskursif. Dalamnya orang bisa bertukar pikiran, memecah masalah, mengambil solusi demi kebaikan anak bangsa.

Dengan demikian, masalah wabah yang kian mengancam meski menjadi awasan etika publik yang terafiliasi dalam progresivitas jurnalistik. Dalam hal ini, Terawan tidak sergap mewanti-wanti kepentingannya kepada ruang publik sebagai Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline