“Untuk mewujudkan mimpi ‘hutan terkelola masyarakat sejahtera’, saya sudah berjuang dari level Wali Nagari hingga ke level Menteri, dan akan terus berjuang sampai kapan pun” Mak Etek, penggiat konservasi dan pemberdayaan masyarakat.
Adalah Marta Hendra yang akrab disapa Mak Etek, lulusan Antropologi Universitas Andalas, sudah lebih dari sepuluh tahun bergelut dalam dunia konservasi dan pemberdayaan masyarakat. Pria kelahiran Kota Payakumbuh 38 tahun lalu ini, melakukan pengabdiannya dengan bergabung bersama Komunitas Konservasi Indonesia WARSI sejak tahun 2005.
“Awal bergabung dengan WARSI saya bertugas untuk melakukan kajian kearifan local masyarakat Koto Malintang dipinggir Danau Maninjau Sumatera Barat, dalam mengelola parak atau agroforestry khas masyarakat Minangkabau” Mak Etek mengenangan awal penjuangan.
Dari Koto Malintang Mak Etek kemudian pindah ke Batu Berbau, sebuah desa yang terletak jauh dipinggir hutan Kabupaten Bungo, Jambi. Disana ia melakukan kajian tentang hutan adat dan sosal budaya masyarakat.
“Untuk menuju desa Batu Batu Kerbau, saya harus jatuh bangun dengan sepeda motor, untuk mendaki bukit menuruni lembah. Akses menuju Batu Kerbau saat itu sangat sulit, jalan tanah yang tak terawat akan sangat parah dimusim hujan, becek dan berlumpur” kenang Mak Etek.
Menurut Mak Etek, untuk mewujudkan hutan yang terkelola secara lestari kita tak bisa hanya bicara tentang ekologi, kita juga harus mau bicara tentang sosial budaya masyarakat disekitarnya, bahkan tentang hal lain yang jauh lebih komplek dari itu. Semua elemen harus menyatu, berpadu dan mau berjuang bersama.
“Karena itu, waktu di Batu Kerbau saya banyak ‘bermain’ dengan Ibu-ibu sebagai salah satu elemen penting dalam masyarakat. Bahkan nyaris tak pernah bicara tentang hutan” ujar Mak Etek.
Dari pinggir hutan di Batu Kerbau, Mak Etek kemudian pindah tugas jauh ke tengah hutan di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Di TNBD ia bertugas menjadi pendamping Orang Rimba, suku marginal asli Jambi yang banyak tinggal disekitar TNBD.
“Orang Rimba adalah masyarakat marginal dengan budaya hidup dan berkehidupan yang sangat tergantung dengan sumber daya hutan. Namun seiring dengan dengan kondisi tutupan hutan yang semakin habis, kehidupan Orang Rimba pun makin terpinggirkan. Ditengah berbagai himpitan dan perubahan yang sangat cepat, kami berjuang bersama agar Orang Rimba bisa bertahan dan hidup layak dalam arus dan tantangan jaman yang terus bergulir” kata Mak Etek.
Sepertinya Mak Etek adalah pria yang suka dengan berbagai tantangan. Dari Taman Nasional Bukit Duabelas, Mak Etek kemudian meluncur ke Tanah Papua untuk menjadi ‘duta WARSI’ di Kaimana. Di Distrik Kaimana ia bekerja untuk mengembangkan skema Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) bersama masyarakat adat disana.
“Senja di Kaimana, tampak indah dipandang mata. Tetapi tinggal sangat jauh dari sanak saudara, adalah tantangan tersendiri bagi saya” kenang Mak Etek.