Lihat ke Halaman Asli

Fredi Yusuf

ide itu sering kali datang tiba-tiba dan tanpa diduga

Masyarakat Sumbar Lakukan Pemetaan Perhutanan Sosial dengan Metode OKe SIPP

Diperbarui: 15 Juni 2016   09:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Merencanakan sebuah pemetaan dengan para tokoh Nagari

Masyarakat tidak hanya berpikir untuk hanya pemetaan areal Perhutanan Sosial saja, tetapi sekaligus memetaan wilayah Nagarinya. Dan yang lebih membanggakan, sebagian Nagari mau mengalokasikan dananya untuk proses pemetaan ini. Hal ini anggap penting, karena batas wilayah akan menjadi dasar bagi perencanaan pembangunan Nagari dimasa datang.


Masyarakat Sumatera Barat (Sumbar) sudah melakukan pemetaan areal untuk skema Perhutanan Sosial, secara partisipatif dengan menggunakan metode OKe SIPP. Proses pemetaan dilapangan yang 100% dilakukan oleh masyarakat ini, sudah berlangsung selama 3 bulan di 7 Kabupaten.

Kegiatan ini merupakan tindak lanjut ditingkat tapak, dari program pemerintah pusat melalui melalui Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemen LHK), yang menargetkan lahan seluas 12.7 juta hektar untuk masyarakat melalui skema perhutanan sosial atau Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM). Di Sumatera Barat sendiri, target pemerintah pusat tersebut disambut baik oleh Pemerintah Propinsi, dengan komitmen Gubernur yang mentargetkan seluas 500 ribu hektar lahan untuk skema Perhutanan Sosial.

Komunitas Konservasi Indonesia WARSI (KKI WARSI) melalui Program PHBM, mengambil bagian untuk berperan aktif dalam program tersebut. KKI WARSI berupaya untuk memastikan bahwa program ini secara sadar bisa dipahami ditingkat tapak, sehingga bermanfaat bagi masyarakat. Dalam prakteknya dilapangan, ada tiga peran utama yang saat ini sedang dilakukan KKI WARSI bersama masyarakat di Sumatera Barat.

Pertama, memberikan sosialisasi tentang skema PHBM ke Nagari-nagari (desa) yang memiliki potensi wilayah untuk PHBM. Kedua, melakukan pemetaan dengan menggunakan metode OKe SIPP untuk memastikan wilayah yang akan diusulkan dalam skema PHBM seperti yang telah dibuat oleh Kemen LHK, melalui Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) berada pasti di Nagari masing-masing, sehingga tidak menimbulkan konflik dikemudian hari. Ketiga, membuat berbagai kajian dimasing-masing nagari, baik sosial, ekonomi, maupun ekologis, untuk melengkapi dokumen usulan PHBM ke Kemen LHK serta mengawalnya.

Nah, saya sebagai orang dari Divisi GIS di KKI WARSI kebagian tugas untuk melakukan peran bagian dua. Tidak sendiri memang, ada Uda Young (Uda = Kakak/Abang) yang menjadi tandem. Tapi ini tidak akan mudah, karena sampai saat ini setidaknya ada 46 Nagari dari 10 Kabupaten yang telah bersedia untuk ikut dalam skema PHBM, dan meminta KKI WARSI untuk memfasilitasinya.

Sesuai dengan diskusi tim, metode yang akan dipakai adalah Pemetaan Partisipatif agar informasi tentang nagari benar-benara tergali dan tingkat akurasi data benar-benar tinggi. Namun pengalaman saya, Pemetaan Partisipatif ini membutuhkan waktu yang lumayan lama. Untuk memperoleh akurasi yang baik, setidaknya dibutuhkan waktu rata-rata satu bulan untuk menyelesaikan kegiatan pemetaan di satu desa. Jadi kalau 46 nagari bisa dihitung sendiri berapa lama waktu yang dibutuhkan, bisa-bisa Presiden-nya udah ganti, kebijakannya udah berubah, dan ‘proyeknya malah mangkrak’.

Mulailah saya putar otak, begimana cara ngakalinya. Tercetuslah ide untuk mengembangkan Pemetaan Partisipatif, sehingga menjadi metode yang kemudian kita beri nama OKe SIPP (kependekan dari Orientasi Keruangan, Sistem Informasi dan Pemetaan Partisipatif). Metode ini sebelumnya sudah kita terapkan dalam kegiatan Penggalian Ruang Mikro di Kabupaten Bungo – Jambi. Dalam metode ini proses-proses pengumpulan data lapangan 100% diserahkan kepada masyarakat. Tugas ahli peta adalah mentransfer pengetahuan pemetaan dan memastikan orang yang ‘ditransfer’ bisa menjalankannya dilapangan, serta melakukan pengolahan data pasca survey. Dengan kata lain prinsip OKe SIPP adalah partisipatif, kolaboratif, dan berbagi peran.

Metode ini sangat efektif dilakukan untuk pemetaan-pemetaan ditingkat tapak. Ia tidak hanya mengatasi masalah kurangnya sumber daya ahli peta, tapi justru menciptakan ‘ahli-ahli’ baru bidang pemetaan. Tim pemetaan pun secara fisik adalah orang yang terlatih, karena mereka adalah orang yang terbiasa bekerja dilapangan, dan sangat paham dengan wilayah yang akan dipetakannya. Dengan demikian, proses-proses pemetaan akan bisa dilakukan secara lebih cepat.

Dalam tiga bulan terakhir kita sudah memetakan 12 Nagari di 7 Kabupaten. Dari 12 Nagari, 7 diantaranya sudah masuk ke tahap finalisasi peta, sisanya baru menyelesaikan survey lapangan dan memasuki tahap pengolahan data. Kendala utama selama proses ini adalah kurangnya alat GPS, sehingga banyak Nagari yang menunggu giliran agar wilayahnya bisa dipetakan. Jika setiap Nagari punya GPS, proses pemetaan dengan metode OKe SIPP ini dipastikan bisa berjalan lebih cepat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline