Lihat ke Halaman Asli

Tahun Baru, Sebuah Tradisi

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah lulus SMP, saya berangkat sekolah tidak dari rumah lagi. Selama SMA saya dimasukkan ke asrama putri dan kemudian melanjutkan kuliah di pulau seberang. Bagi saya, tahun baru menjadi momen yang sangat berarti. Momen saya bisa pulang ke rumah dan melepas rindu. Entah mengapa, saya hanya berfikir, tahun baru adalah waktu yang sangat tepat untuk pulang.

Ada suatu kerinduan yang sangat kuat bila satu waktu saya tidak bisa pulang dan melewati satu momen tahun baru. Ada kisah yang hilang ketika harus menyambut tahun yang baru tanpa merayakannya dengan keluarga besar dengan tradisi yang telah berlangsung bertahun-tahun. Yah, ada suatu tradisi yang begitu mengikat perasaan dalam keluarga saya. Tradisi yang manis untuk dikenang, tradisi yang indah untuk diulang.

Tradisi ini berlangsung dari keluarga pihak ayah. Ayah adalah anak ke-5 dari 9 bersaudaradan merupakan anak laki-laki tertua. Semua keluarga ayah sudah berkeluarga dan menetap di beberapa daerah masih di sekitar Sumatera Utara. Mungkin karena tempat tinggal yang tidak terlalu berjauhan maka tradisi ini juga bisa berlangsung. Jadi, setiap tahun dari sembilan keluarga ini dan sepuluh bila diikutkan dengan nenek akan bergiliran menjadi ‘tuan rumah’ dalam perayaan menyambut tahun baru.

Kebiasaan ini sudah berlangsung bertahun-tahun lalu. Saya masih ingat ketika saya masih SD, saya selalu penasaran giliran di rumah siapa acara tahun baru mendatang. Biasanya penetapan ‘tuan rumah’ selanjutnya dibicarakan juga pada saat acara tahun baru itu. Tradisi ini juga menjadi suatu kesempatan bagi kami untuk saling berkunjung dan bersilaturahmi. Saya selalu antusias dan tidak sabar menanti momen indah itu.

Biasanya, acara tahun baru dijadwalkan tepat pada malam tahun baru. Setiap tahun pasti punya cerita yang berbeda dan tempat yang berbeda. Seperti tahun lalu, kami menyambut tahun yang baru di Siantar, rumah Pak Tengah, adiknya ayah. Sebelum berangkat, kami sudah sibuk mempersiapkan apa saja yang akan dibawa. Tahun baru adalah perhelatan besar bagi keluarga saya. Semua saudara ayah beserta keluarganya akan berkumpul di satu rumah. Bayangkan saja betapa ramainya kami, sembilan keluarga beserta cucu-cucu nenek berkumpul di rumah yang mendapat giliran menjadi ‘tuan rumah’.

Penunjukan menjadi ‘tuan rumah’ sengaja tidak dibuat secara berurutan mulai dari yang tertua atau dari yang termuda melainkan siapa yang siap menjadi ‘tuan rumah’. Menjadi ‘tuan rumah’ tentu mempunyai persiapan lebih dengan mempersiapkan makanan yang akan dihidangkan, rumah dibersihkan dengan besar-besaran agar tampak indah. Kalau rumah kami yang menjadi ‘tuan rumah’, ibu pasti sudah rajin teriak-teriak agar kami bergerak membersihkan setiap sudut rumah, mengecat bagian yang sudah kusam. Membawa keranjang belanjaan yang besar ke pasar untuk mempersiapkan menu khas Suku Karo yang biasa kami suguhkan. Sungguh tradisi yang merepotkan namun menyenangkan.

Suatu kebiasaan juga, untuk menuju rumah ‘tuan rumah’, kami mengusahakan berangkat beriringan sebisanya. Beberapa rumah memang berdekatan dan berangkat searah, maka ayah akan janjian dengan om dan tante untuk berangkat bersama. Dari masing-masing keluarga juga akan membawa buah tangan bagi ‘tuan rumah’. Beragam yang dibawa, Bik Tua (kakak tertua ayah) biasanya membawa bolu buatannya. Ada juga membawa ayam hasil ternak atau buah-buahan.

Berhubung saat itu kami akan membuka tahun baru di Siantar, maka ayah sudah menjanjikan kepada adik-adik yang masih kecil bahwa kita akan berlibur ke Parapat, wisata di pinggir Danau Toba. Semua semakin antusias dan ingin segera cepat sampai di Siantar. Perjalanan sekitar empat jam lumayan melelahkan karena jalanan yang kami lalui kurang memadai. Tiba di rumah Pak Tengah ketika senja mulai berakhir. Lambaian tangan Pak tengah dan Mak tengah di ujung jalan menyambut kami.

Rumah Pak Tengah yang biasanya sepi kini riuh. Ekin, anaknya Pak Tengah berloncat girang menyambut kami. Dia masih kecil dan momen ini akan tersimpan menjadi kenangan manis di memorinya seperti yang saya rasakan ketika masih kecil. Sama seperti dia, saya kecil merasakan tahun baru adalah momen keluarga yang terindah.

Sebuah tradisi ketika mengadakan acara menyambut tahun, kami akan memulai acara tepat pukul 12 malam pada malam tahun baru. Anak-anak kecil akan disuruh tidur dulu menanti pukul 12 malam. Kembang api sudah disiapkan. Anak-anak sudah mengambil bagian masing-masing. Kembang api menambah keceriaan di malam tahun baru. Percik sinarnya seperti pemberi percikan harapan untuk tahun yang baru.

Karena kami berbeda-beda agama, maka acara syukuran malam tahun baru sepakat diadakan mengikuti agama ‘tuan rumah’. Hal ini menjadi adil karena semua bisa bersama-sama bersyukur tanpa memperdebatkan agama dan cara bersyukur. Ini suatu harmonisasi yang indah yang saya banggakan dari keluarga saya. Acara disusun semeriah mungkin. Saya masih ingat ketika kecil, kami sepupu-sepupu yang sebaya belajar bernyanyi yang akan kami persembahkan di acara syukuran malam tahun baru. Semua cucu nenek harus ikut bernyanyi.

Setelah kebaktian syukur, acara yang paling ditunggu adalah mengungkapkan rasa masing-masing pribadi maupun keluarga. Bergiliran akan berdiri dan mengungkapkan rasa syukur, permohonan maaf, kesan selama tahun yang telah lalu dan harapan untuk tahun yang baru. Sepupu saya Lidia sangat suka iseng dan mendadak meminta Bik Tengah bernyanyi ketika giliran mereka selesai mengungkapkan rasa. Keisengan seperti ini menjadi bumbu manis di tengah acara, tingkah kocak Bik Tengah membuat tawa meledak.

Biasanya cucu-cucu akan disatukan dan ramai-ramai berdiri. Dimulai dari cucu tertua akan mengungkapkan rasa sampai cucu termuda. Cucu yang tidak hadir akan ditelpon dan kita ramai-ramai mengucapkan kata ‘Selamat Tahun Baru’. Saya juga pernah mendapat telpon dari keluarga ketika tidak bisa bersama merayakan tahun baru. Ada rasa bahagia dan haru ketika mereka menelpon saya, saya merasa berada disana, ingatan menyusuri waktu lampau dan kenangan bangkit kembali. Keceriaan mereka membuat titik air mata mengalir. Saya merasa sangat berharga ketika mereka menelpon saya dan mengucapkan ‘Selamat Tahun Baru’.

Tahun baru dan tradisi di keluarga saya membuat saya merasa mereka adalah harta berharga. Kehangatan yang mereka berikan menjadi kekuatan ketika harus merantau dan saya tahu jalan untuk pulang. Tradisi itu kini terus berlangsung dan terus menjadi penghangat kebersamaan keluarga besar saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline