Gambar 1. Romusha atau krupakan kebijakan Jepang
"Yuki bangun! Anak gadis kerjanya tidur terus!" Teriakan yang setiap hari berkumandang di telingaku seolah tak mengenal tanggal merah. Ku langsung beranjak dari tempat tidur menuju meja makan.
Disana sudah tersaji nasi lengkap dengan lauk pauknya. Kulihat ayah yang sudah rapi dengan seragamnya bersiap ke kantor, ada ibu yang sibuk menyiapkan perlengkapanku, dan bibi Imah yang sedang menyapu halaman rumah. Oh iya, perkenalkan namaku Yuki dalam bahasa Jepang artinya salju, kata ibuku sewaktu ia menemukanku kondisi tubuhku sangat dingin seperti salju. Ya, aku memang bukan anak kandung di keluarga ini, keluarga ini berasal dari Jepang, ibuku merupakan peneliti riset pohon di Jepang dan ayahku yang tadinya konsultan pemerintah Jepang sudah berganti profesi menjadi karyawan swasta. Kata ibuku, aku merupakan masyarakat asli Indramayu.
"Yuki abis makan,cepat bersiap, dokter sebentar lagi datang." Suara ibu memecahkan lamunanku dari tadi. Selesai makan, ku langsung bersiap pergi bersama ibu. Pergi ke dokter merupakan hal rutin yang selalu kami lakukan setiap Senin pagi. Sesampainya di Rumah Sakit, kami langsung diantar ke ruangan yang depannya tertulis "Spesialis Syaraf", ruangan rutin yang kami kunjungi selama 5 bulan terakhir.
Di ruangan itu, seperti biasa kami disambut ramah oleh dokter Bayu. Merupakan rutinitas bagi kami saat baru datang untuk membahas hasil pemeriksaan minggu lalu. "Maaf bu, tetapi kondisi pita suara Yuki semakin memburuk" ujar dokter Bayu dengan nada memelas. Kata ibu, saat pertama kali menemukanku aku sudah mengalami tunawicara yang tanpa aku ketahui penyebabnya. Ibu sedang berbincang dengan dokter bayu mengenai pengobatanku dan aku tidak mengerti pembicaraan mereka. Mataku menuju kearah tv yang ada di sudut ruangan menayangkan film perang, seorang tentara menembak rakyat dengan brutal. Hal itu meningatkanku pada sesuatu yang membuat kepalaku pusing dan pandanganku gelap.
Matahari pagi memasuki kamarku melewati jendela kecil di pojok ruangan, seolah cahaya itu memaksa masuk menyelimuti seisi ruangan 3x4 meter ini dan berhasil membangunkanku. Pagi ini, seperti biasa aku bangun pagi untuk pergi ke sekolah yang dibangun pemerintah baru-baru ini. Baru saja menginjakkan kaki keluar kamar, ku langsung disambut aroma ubi rebus dari dapur. "Eh Sri, anak ayah udah bangun, tapi masih bau, sana mandi dulu!" Ujar ayahku dengan nada meledek. Aku memang sangat dekat dengan orang tuaku, maklum saja aku memang anak satu-satunya di keluarga kecil ini. Sebenarnya, aku ingin sekali memiliki seorang saudara, tetapi kondisi ekonomi kami sangat tidak mendukung semenjak kebun milik ayah harus disita oleh Bala Tentara Nipon. Ditambah lagi kondisi kesehatan ayah yang semakin memburuk karena harus berkerja (romusha).
Pagi ini di sekolah, kami mengikuti serangkaian upacara bendera. Upacara yang melelahkan ini harus dilanjutkan dengan pelajaran olahraga latihan Taiso. Merupakan perpaduan yang sangat sempurna. Selesai mengikuti seluruh kegiatan tersebut, kami kembali ke kelas untuk melanjutkan pelajaran. Akan tetapi, kepala sekolah menyalakan sirine yang berarti ada keadaan darurat dan kami dianjurkan untung pulang saat itu juga. Terdapat seribu pertanyaan di otak-ku, tetapi tidak satupun yang berhasilku utarakan. "Cepat Sri kita harus berlari" ujar Santi teman sebangku-ku, "Santi tunggu aku" jawabku selagi menyusul dirinya.
Setelah kurang lebih 15 menit kami berlari, akhirnya kami sampai di Karang Ampel, desa kami dan benar saja, semua posisi rumah dalam kondisi terkunci rapat, tidak ada aktivitas yang dilakukan masyarakat seperti biasa. Sesampainya di rumah, ibu langsung memanggilku dan membawaku masuk ke rumah. "Ibu apa yang terjadi? Dimana ayah?" tanyaku dengan perasaan cemas. Tanpa menjawab pertanyaanku, ibu langsung berkata "Apapun yang terjadi kamu harus tetap hidup nak. Jangan khawatirkan ibu dan ayah." Begitu ucapnya sambil memelukku erat dan kurasakan air mata jauh di bahuku.
Tembakkan dilontarkan oleh Bala Tentara Nippon di desa kami membuat seisi desa ketakutan. Para perkerja romusha yang dari tadi sudah bersembunyi, langsung turun tangan memberikan perlawanan kepada tentara Jepang. Namun apa daya, perkerja romusha yang hanya berbekal bambu runcing tak mampu menyaingi tembakkan milik Jepang. Melalui jendela kamarku, aku melihat bagaimana tentara Jepang menembak dengan brutalnya dan terlihat jelas bagaimana tentara Jepang menembakan pelurunya tepat di dada ayahku. Hal itu membuatku terdiam sejenak, terlintas kenangan-kenangan manis bersama ayah dan rencana-rencana yang kita rancangkan yang harus pupus seketika.
Tiba-tiba saja, pintu rumah kami dibuka secara paksa oleh tentara Jepang. Seorang tentara hendak menikamku, namun dengan tegap ibu mendorongku dengan kencang sehingga terbentur kepalaku dan terasa panas di tenggorokanku. Akan tetapi, ibu mengisyaratkanku untuk lari sebelum akhirnya ia tertembak peluru di kepalanya. Aku lari sebisaku menuju hutan di dekat desa dan disana aku bertemu seorang wanita yang sedang meneliti pepohonan disana. Aku langsung meminta bantuan wanita tersebut, tiba-tiba saja mataku hitam dan kehilangan keseimbangan.
"KEMBALIKAN IBUKU!" teriakanku membuat seisi ruangan itu menatapku heran. Aku merasa tubuhku berada di atas kasur putih, ada dokter Bayu, ibu, ayah, dan beberapa perawat yang tak berhenti menatapku. "Yuki, kamu sudah sadar dan bisa bicara?" Tanya ibu. "Ini tidak bisa dipercaya" Ujar dokter Bayu. "Terimakasih semuanya, maafkan saya, saya ingin bertemu ibu" jawabku pelan. Perlahan pendeteksi detak jantung menunjukkan garis lurus.