Hilirisasi Industri menjadi salah satu langkah penting bagi Indonesia untuk menjadi negara maju pada Tahun 2045 – Presiden Joko Widodo
Sejak Tahun 2017, Presiden Jokowi gencar mencanangkan Gerakan Hilirisasi Industri guna meningkatkan pendapatan negara. Pemerintah memang harus mempertimbangkan segala alternatif penerimaan negara, alih-alih memperketat dan “menggencet” Wajib Pajak perseorangan dan Perusahaan di Indonesia, apalagi kesadaran membayar pajak di Indonesia relatif masih rendah.
Tahun 2022, di antara negara-negara ASEAN, Rasio Pajak Indonesia berada di peringkat ke-3 dari bawah dengan skor 10,41%, hanya “unggul” dari Myanmar (5,78%) & Laos (9,46%). Sementara rasio Pajak di Malaysia = 11,4%, Kamboja = 12,04%, Singapura = 12,96%, Filipina = 14,6%, Vietnam = 16,21% dan Thailand 17,18%. Kalau berkaca pada negara-negara di Eropa, Tahun 2021 Rasio Pajak terendah di Eropa adalah Irlandia (22,1%) dan tertinggi di Negara Denmark (46,1%).
Namun kita semua tahu, dan pemerintah juga paham bahwa kebijakan memperketat Wajib Pajak Perseorangan dan Perusahaan guna meningkatkan Rasio Pajak bukan merupakan kebijakan yang populis, dan bukan tidak mungkin kebijakan ini bisa berbalik menjatuhkan pemerintah.
Alih-alih terus-menerus “menggencet” Wajib Pajak Perseorangan dan Perusahaan, Presiden Jokowi memilih peluang peningkatan penghasilan pajak melalui peningkatan nilai tambah hasil SDA yang berlimpah di Indonesia dalam Program Hilirisasi Industri.
Sejak dulu SDA di Indonesia dikeruk kemudian di ekspor ke negara lain dalam bentuk bahan mentah yang nilai jualnya pada tingkatan terendah. Setibanya di negara tujuan, bahan mentah tersebut diproses, dilebur & dimurnikan hingga menjadi bahan yang bernilai jual tinggi. PT Freeport Indonesia, sejak berdiri di Tahun 1967, selama 57 tahun mengekspor dalam bentuk bahan mentah untuk di proses di luar negeri. Baru sejak Juli 2024 PT Freeport Indonesia memiliki dan mengoperasikan smelternya yang berlokasi di Jawa Timur.
Untuk mengetahui perbandingan nilai jualnya, saya berikan ilustrasi timah. Saat ditambang, timah masih berbentuk seperti pasir campuran (pasir timah basah) nilai jualnya Rp 100.000/kg. Pasir timah basah ini kemudian diproses menjadi hanya pasir timah hitam dan selanjutnya diproses lagi melalui fasilitas smelter menjadi batangan mineral timah murni dengan nilai jual Rp 603.000/kg. Dari kasus timah ini kita melihat bahwa dari bahan mentah menjadi bahan jadi, terjadi peningkatan nilai jual hingga 600%.
Untuk menjadi negara kategori maju dibutuhkan SDM yang berkualitas yang dapat menghasilkan kemajuan teknologi. Upaya ini sudah dimulai di era Presiden SBY melalui Program Sekolah Gratis dari Tingkat SD hingga SMA sejak Tahun 2008. Kebijakan ini hingga sekarang masih dilanjutkan dan bahkan ada wacana pemerintah agar kebijakan sekolah gratis tersebut bisa juga menjangkau jenjang perguruan tinggi. Namun untuk mewujudkannya, negara membutuhkan anggaran yang besar. Karena jangankan perguruan tinggi gratis, anggaran yang dimiliki pemerintah untuk program gratis sekolah SD hingga SMA saat ini saja belum mampu menutupi seluruh kebutuhan operasional di masing-masing sekolah negeri, sehingga masih dibutuhkan partisipasi dari orang tua murid.
Di bidang kesehatan masyarakat, Presiden Soeharto memulai program kesehatan dengan mendirikan posyandu untuk memberikan pelayanan Kesehatan dan pengembangan anak secara terpadu. Posyandu bersama dengan Puskesmas secara rutin memberikan imunisasi gratis kepada bayi dan anak-anak untuk menghasilkan SDM yang sehat dan kuat.
Imunisasi dan Sekolah Gratis merupakan fondasi yang dilakukan pemerintah dalam menyiapkan SDM Indonesia yang berkualitas tinggi menuju Kategori Negara Maju. Namun selain itu, kita juga masih butuh pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan dan merata di seluruh wilayah di Indonesia. Belum lagi kebutuhan alutsista untuk memperkuat pertahanan negara. Kesehatan, pendidikan, infrastruktur, alutsista, ini semua membutuhkan anggaran negara yang besar.