"I actually don't have Indonesian blood, whatsoever. I am actually German, Japanese, Chinesse. I was only born in Indonesia. I am also Christian" - Agnes Monica.
Sepenggal wawancara Agnes Monica oleh Kevan Kenny untuk Yahoo's BUILD mengguncang dunia media sosial di Indonesia. Sampai-sampai membuat Istana Negara perlu membantu melakukan klarifikasi untuk menenangkan kegaduhan yang terjadi di medsos.
Bisa dibilang kehebohan ucapan seorang Agnes Monica melebihi kehebohan peluncuran single lagu terbarunya. Saya sendiri yang selalu berusaha menghindari penulisan di ranah politik atau hal-hal yang sensitif, kali ini tidak dapat menahan jari. Tapi semoga tulisan saya ini tidak dianggap ikut meramaikan kegaduhan yang sudah terjadi.
Ucapan Agnes langsung membuat sebagian besar WNI Keturunan Tionghoa tersentak, karena di saat Keturunan Tionghoa masih terus memperjuangkan kesetaraan sebagai Warga Negara Indonesia, seorang Agnes Monica, WNI Keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia, besar di Indonesia, makan dari hasil bumi Indonesia, minum dari air di Indonesia, bahkan mendapat ketenaran dan rezeki dari Indonesia, saat mengadu nasib di negara lain, malah seolah-olah menafikan semua ke-Indonesia-an nya.
Ucapan Agnes dirasakan menjadi batu sandungan bagi kebanyakan warga Keturunaan Tionghoa dalam mendapatkan hak kesetaraannya.
Apalagi belum lama ini, juga ramai di medsos membahas satu provinsi di Indonesia yang melarang WNI keturunan Tionghoa memiliki tanah di sana; dan bagi sebagian besar orang menganggap ketentuan tersebut sudah benar dan wajar.
Sebenarnya apa yang diucapkan oleh Agnes memang tidak salah seratus persen, walaupun demikian juga tidak tepat. Tidak bisa dipungkiri juga bahwa masih saja ada perlakuan dikriminatif serta cemohaan yang diterima keturunan Tionghoa di negerinya sendiri. Warga Keturunan Tionghoa memang harus berterima kasih kepada pemerintah terutama kepada alm. Gus Dur yang telah membuka jalan bagi pengakuan keturunan Tionghoa sebagai bagian dari Indonesia.
Penetapan Hari Raya Imlek adalah salah satunya. Tapi tetap saja di jalanan ada saja anak-anak yang tanpa takut berteriak sinis "Cina lu", dan orang tua yang mendampingi anaknya diam saja, tidak merasa perlu mengoreksi ucapan anaknya.
Tapi tidak serta merta semua hal ini harus menjadi disimpan dalam perasaan dendam. Suka atau tidak suka, begitulah nasib kaum minoritas. Bahwa perlakuan yang dirasa diskriminatif memang dialami oleh semua kaum minoritas di negara mana saja, tanpa memandang apa suku nya.
Ucapan Agnes memang tidak hanya menimbulkan kecaman kontra di medsos, melainkan juga banyak ujaran yang pro, memihak Agnes. Pada akhirnya saya melihat ada 4 kelompok pendapat dalam dua bingkai pendapat : pro & kontra.