Kata Blusukan berasal dari Bahasa Jawa : Blusuk, yang berarti masuk. Blusukan diartikan sebagai : masuk ke tempat tertentu untuk mengetahui sesuatu. Dalam beberapa tahun ini, kita pasti sudah sering membaca berita mengenai kunjungan Kepala Negara atau Kepala Daerah ke pasar tradisional, kawasan pemukiman penduduk, hingga terminal atau stasiun kereta dan lainnya.
Sebenarnya tidak ada yang istimewa dengan blusukan ini. Ini hanyalah kunjungan kerja dan mengamati kondisi lapangan. Tapi blusukan ini menjadi istimewa karena kita melihat seorang Kepala Daerah atau Kepala Negara mau terjun langsung, melihat kondisi dan berdiskusi langsung dengan rakyat tanpa harus melalui birokrasi yang panjang bagi masyarakat. Selain Kepala Negara atau Kepala Daerah, ada juga beberapa pimpinan tertinggi perusahaan yang mau blusukan untuk meninjau dan berdiskusi dengan konsumennya. Mari kita bahas lebih lanjut mengenai blusukan dari sektor swasta.
Saat saya menulis artikel ini, rekan saya tidak sependapat dengan saya. Menurutnya, blusukan itu tidak perlu sampai seorang pemimpin harus turun tangan, cukup dilakukan staf di bawahnya yg memang bertugas di lapangan, kemudian informasi tersebut diteruskan kepada atasannya hingga Direksi. "Toh biasanya juga memang demikian prosesnya. Tugas pemimpin itu yah memimpin orang-orang di kantor" timpal rekan saya.
Hmmm.., saya tidak sependapat sama sekali.
Dari pengamatan dan pengalaman saya, justru seorang pemimpin eksekutif di tingkat pengambil keputusan strategis harus tahu kondisi sebenarnya yg terjadi di pasar. Terlebih lagi perusahaan tersebut bergerak di bidang Fast Moving Consumer Goods (FMCG). FMCG adalah bisnis yang sangat dinamis. Apa yg terjadi di pasar hari ini belum tentu sama dengan apa yg terjadi bulan lalu. Perubahan bisa terjadi setiap saat. Kompetitor bisa mengganti dan mengeluarkan jurus baru setiap saat. Kalau sebagai pemimpin tidak mengerti kondisi terkini di pasar, tidak mengerti apa yg diinginkan oleh penjualnya, agennya, distributornya; niscaya strategi dan kebijakan yang dikeluarkan bisa meleset dan kontraproduktif. Pemimpin yang tidak menguasai kondisi pasar dipastikan tidak akan berhasil.
Lalu buat apa ada team sales atau merchandise di lapangan, kemudian supervisor dan manager hingga NSM/GM kalau direksi sampai harus turun ke lapangan?
Pernahkah anda bermain permainan bisikan berantai? Kordinator permainan ini akan meminta 5-10 orang berbaris ke depan, kemudian kordinator menunjukkan selembar kertas berisi kalimat kepada orang pertama di depan. Orang pertama bertugas menghafal dan menginformasikan apa yg dilihat kepada orang kedua dgn berbisik, kemudian orang kedua menginformasikan kepada orang ketiga, dan seterusnya? Menurut anda, apakah informasi yg benar dan akurat sesuai dengan kertas yg dilihat orang pertama akan mulus dan tidak salah sampai orang ke-5 atau ke-10? Jangankan orang ke-5. Saya yakin sampai di orang ke-2 saja umumnya sdh mendapat informasi yg salah atau bias dari orang pertama kan?
Kalau begitu, masihkah kita bisa percaya pada rantai informasi yg panjang?
Dalam kasus konkret di lapangan, masukan dan keluhan yg diberikan oleh penjual kepada tim di area, belum tentu informasinya sama persis diteruskan hingga level National Ssales Manager, General Manager bahkan ke direksi. Atau bisa jadi keluhan dari penjual kepada wiraniaga area hanya disimpan sendiri bersama kepala cabangnya, tidak diteruskan ke pusat, karena ada konstribusi kesalahan di cabang.
Kedua hal ini: yaitu informasi yang bias hingga ketiadaan informasi kondisi pasar yang sesungguhnya, ditambah dengan pemimpin yang membuat strategi tidak mengetahui kondisi terkini, akan menghasilkan kebijakan yang salah atau kontraproduktif.