Lihat ke Halaman Asli

Tetangga

Diperbarui: 7 Agustus 2015   11:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Beberapa orang bilang, “Tetangga itu tidak kalah penting daripada saudara kandung!” Sebab ada banyak alasan positifnya punya tetangga, begitu kata orang-orang. Saya sebut saja tiga contoh.

Ke satu, jika kita sekeluarga pergi keluar kota beberapa hari dan (kebetulan) tetangga tidak ke mana-mana, maka kepada tetangga itu kita bisa minta bantuan ‘titip’ rumah kita agar terhindar dari ‘tangan-tangan jahat’ manusia. Sebab saudara sendiri belum tentu bisa kita harapkan. Ke dua, jika kita mendadak sakit serius atau katakan ada anggota keluarga yang meninggal dunia, maka tetanggalah orang nomor satu yang bisa segera diminta tolong. Saudara kandung mungkin baru bisa hadir beri bantuan sekian jam kemudian. Ke tiga, jika air ledeng kita mampet, brambang di dapur habis, sepeda motor lagi mogok, maka tetanggalah orang pertama yang dapat segera kita ‘todong’ bantuannya, bukan saudara sendiri yang nun di sana. Pasti masih banyak alasan positif lainnya tentang begitu pentingnya tetangga. Tentu ini benar. Saya sependapat.

Tetapi, ternyata ada benar juga bahwa, tetangga itu bisa menjengkelkan. Bahkan sangat menjengkelkan. Saya menyadari hal ini saat berkunjung ke rumah beberapa sahabat. Dalam obrolan muncul keluhan, curhat, tuturan, soal tetangga yang menjengkelkan. Saya berbagi empat contoh saja.

Dari seorang sahabat di utara, saya mendapat cerita soal tetangga yang mau menang sendiri dan suka mengatur. Mulai dari soal ngotot ujung genteng rumahnya sah-sah saja menumpang di pagar-bumi tanah milik sahabat saya, tuntutan agar sahabat saya tidak parkir mobil dekat dengan tembok batas rumahnya karena akan mengganggu keluar masuk mobilnya, hingga peristiwa setiap hari suka membakar sampah-sampah rumah dan kebun, sehingga menebarkan asap dan bau menyengat yang masuk ke rumah sabahat saya dan tetangga lain.

Dari sahabat di timur, saya mendengar kisah tentang tetangga yang memiliki kebiasaan yang tidak biasa. Tetangga ini gemar sekali mencuci mobil, garasi dan teras rumah pada waktu ‘pagi buta’, saat semua orang sedang lelap-lelapnya tidur. Semprotan airnya kerap membuat sahabat saya dan keluarganya terbangun dari nyenyak tidur karena kaget. Sebab mereka tinggal bersebelahan.

Dari sahabat di selatan, saya mendapat keluhan soal tetangga yang memiliki banyak binatang peliharaan. Mulai dari burung beo, burung gagak, ayam bekisar, anjing herder, monyet, kucing dan entah apa lagi. Akibatnya sudah pasti. Bau amis dan aroma menyengat kotoran aneka hewan sangat menggangu sahabat saya dan beberapa tetangga lain. Belum lagi suara bising lolongan anjing, jeritan monyet, suara gagak dan celotehan beo yang tidak pandang waktu saling sahut, sungguh berisik.

Dari sahabat di barat, saya mendapat curhat soal tetangga yang kerap ‘mengasihani’ kucing-kucing liar dengan cara menaruh sisa makanan di berbagai sudut wilayah pemukiman. Akibatnya banyak kucing liar terundang datang untuk makan dan berkeliaran di sekitar rumah-rumah tetangga. Dampak negatifnya, di sana-sini bertebaran kotoran kucing. Di pinggir jalan, di taman, di halaman rumah, bahkan di teras rumah. Bau busuk menyengat di mana-mana. Belum lagi jika tiba ‘musim kawin’ kucing, lolongan kucing di malam hari sungguh sangat mengganggu ketenangan tidur.

Bagaimana dengan saya? Dibanding beberapa sahabat, sampai saat ini saya masih beruntung. Saya memiliki tetangga yang tidak suka usil, tidak gemar mengatur orang lain, tidak senang mengganggu lingkungan sekitar, tidak suka membuat onar, suka tersenyum, suka menyapa, senang mengajak ngobrol, gemar bercanda. Pokoknya tentangga yang baik. Eh, Bagaimana dengan sampean? Pasti sampean juga memiliki tetangga yang baik baik saja.

Menjadi tetangga yang sungguh baik, menyenangkan hati, suka menolong dan menghibur itu perlu. Sebab itu sangat penting buat tetangga kita..

Salam bertetangga, Freddy Gunawan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline