Menurut berita-berita sekitar ‘adu’ data survei atau riset atau apapun istilahnya, menyebutkan elektabilitas Prabowo Subianto meningkat terus. Dan jika elektabilitas ini meningkat terus bisa saja Prabowo menjadi Presiden Indonesia 2014-2019. Itu kata pembuat survei. Satu contoh adalah Indo Barometer. M. Qodari, Direktur Eksekutif Indo Barometer menyatakan jika kenaikan elektabilitas Prabowo-Hatta berlanjut, maka pasangan itu bisa unggul cukup telak dari Jokowi-JK dengan perolehan suara 53 persen banding 47 persen pada Pilpres 9 Juli 2014 - http://www.republika.co.id/ berita/pemilu/menuju-ri-1/14/06/29/n7x7l8-indo-barometer-prabowo-bisa-menangi-pilpres
Sak benernya, Prabowo memang bisa mengalahkan pesaing beratnya, Jokowi, dengan mudah. Tapi itu tidak pernah dilakukannya. Dan itu kesalahan fatal. Akibatnya saya harus bilang Prabowo bisa saja tidak akan pernah menjadi Presiden RI. Kenapa bisa begitu? Begini jawabnya.
Sebagian rakyat Indonesia sudah tahu Prabowo cukup lama. Terutama selama beberapa tahun terakhir ini. Seperti kata Anies Baswedan "Kita tahu siapa Prabowo karena sudah beriklan selama 6 tahun di televisi terus-menerus...." ujar Anies di sela-sela acara Rakornas Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) di Jakarta, Kamis (29/5/2014) - http://nasional.kompas.com/read/ 2014/05/30/0521137/Anies.Baswedan.Sindir.Gencarnya.Iklan.Prabowo
Iklan di televisi selama 6 tahun terus menerus itulah kesalahan fatal Prabowo. Ia menghamburkan uang milyaran untuk mencitrakan diri dengan cara yang sungguh keliru.
Berapa sih biaya untuk beriklan citra diri di televisi selama 6 tahun? Tidak ada data pasti. Juga berapa kali selama 6 tahun Prabowo sudah beriklan diri, saya tidak tau pasti. Tapi mari berandai saja. Katakan, sekali beriklan (30 detik) di televisi yang tergolong cukup digemari di acara yang juga cukup digemari adalah Rp. 10 juta. Katakan setiap hari iklan diri Prabowo muncul 5 tayangan di satu televisi. Ditayang di 4 televisi berbeda. Sebulan hanya 25 kali tayang, selama 6 tahun penuh. Berarti total tayangan adalah 36.000 kali. Berapa biaya yang telah dikeluarkan? Rp. 360.000.000.000. Tiga ratus enampuluh milyar rupiah. Ini angka yang besar.
Dengan uang sebanyak itu, sebenarnya jika minimal 6 tahun lalu Prabowo melakukan kerja di masyarakat dengan sungguh-sungguh (!), maka hal itu akan menjadi luar biasa. Kerja apa itu?
Prabowo setelah berhenti dari militer dan kemudian pergi ke Yordania lalu pulang kembali ke Indonesia, ia berbisnis, mengikuti konvensi capres dari Partai Golkar dan nyawapres mendampingi Megawati. Hanya itu? Tidak.
Ada yang menarik. Selain melakukan kegiatan bisnis dan politik, Prabowo sebenarnya sudah mempersiapkan sebagian massa pendukung untuk misi besarnya, yaitu menyempurnakan sejarah hidupnya sebagai ‘pemimpin besar’ dengan menjadi Presdiden RI. Untuk itu ia bersedia ‘bekerja di masyarakat’ seperti, menjadi ketua umum organisasi masyarakat macam Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), mendirikan beberapa ormas lain, seperti Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional Indonesia (APPSI) dan Asosiasi Pencak Silat Indonesia (APSI). Bahkan ia dipilih menjadi ketum APPSI. Lebih jauh, sebagai ketum APPSI, Prabowo kerap bersuara agar pemerintah membatasi hipermarket dengan mengatur jaraknya agar tidak merugikan pedagang kecil - http://pemilu.metrotvnews.com/ read/2014/06/15/252928/hkti-dan-appsi-pengalaman-prabowo-di-sektor-ekonomi-rakyat
Tapi apa yang terjadi? Menurut saya, Prabowo justru menyia-nyiakan kesempatan besarnya. Bekerja di masyarakat yang telah dipilih dan memilihnya itu tidak dimanfaatkan dengan baik dan benar. Ia tidak sunguh-sungguh bekerja di masyarakat.
Prabowo hanya menggunakan kerja di masyarakat itu sebagai alat untuk mencapai tujuan. Bukan bekerja sesungguhnya untuk masyarakat yang bernaung di ormas itu sendiri. Ia hanya ‘menyuarakan’ kepentingan mereka. Persis seperti apa yang disuarakannya selama kampanye pilpres ini. Padahal rentang waktu kepemimpinannya di ormas-ormas itu cukup panjang. Ambil contoh HKTI. Ia sudah menjadi ketum sejak 2004 hingga 2010. Bahkan pernah klaim hingga 2015. Tapi apa yang dapat dilihat dari petani Indonesia yang diperjuangkan hak-haknya itu? Entahlah.
Dengan dana besarnya untuk beriklan diri selama 6 tahun dan ‘iklan-iklan’ lain, sebenarnya sang jenderal purnawirawan itu dapat berbuat lebih nyata. Tidak usah yang spektakuler, cukup yang langsung bersentuhan dengan masyarakat ormas yang dipimpinnya dan masyarakat sekitar. Apa itu?
Ambil contoh, sebagai ketum APPSI. Daripada berteriak-teriak ke pemerintah, Ia langsung saja membuat, katakan 5 pasar tradisional swasta ‘kelas’ menengah seharga 75 milyar rupiah, di 5 kota berbeda sebagai percontohan. Katakan di Aceh, Cirebon, Semarang, Denpasar, Makassar. Pasar jenis tradisional yang moderen, bersih, sehat. Pilih lokasi yang bagus. Lalu berikan kepada para pedagang pasar untuk menyewa dengan harga sangat murah. Kelola dengan baik dan pastikan mereka dapat berdagang dengan nyaman, aman dan mudah diakses oleh pembeli. Tentu dalam 4-5 tahun akan sukses. Apa yang terjadi? Prestasi itu akan langsung mengangkat namanya ke pentas nasional secara positif. Itu akan menjadi ‘iklan’ yang lebih baik dan benar. Daripada mencitrakan diri secara tidak jelas via televisi.
Apakah Prabowo pernah membangun pasar tradisonal? Saya coba googling, tidak ada tuh? Atau ada di sumber kabar lain, tapi saya luput tidak membaca atau melihat? Padahal ia menjabat posisi strategis di oraganisasi yang dipimpinnya dan memiliki dana besar. Ia hanya berhenti dalam ‘memperjuangkan’ dengan ‘menyuarakan’. Tidak dengan bekerja secara nyata, agar nampak bukti hasilnya. Membangun pasar tradisonal yang modern, bersih, sehat, nyaman, aman, mudah diakses dan sukses itu adalah sebuah hasil kerja nyata yang kasat mata.
Selama kampanye pilpres ini, Prabowo kerap diserang atau disindir tak pernah memimpin publik (baca: masyarakat sipil), belum pernah menjadi pemimpin publik, katakanlah sebagai, lurah, camat, bupati, walikota, gubernur. Ia lebih dilabelkan sebagai pemimpin militer. Memang benar. Tetapi ‘dalam bentuk lain’, sebenarnya memimpin ormas itu dapat dikategorikan ‘memimpin publik’ juga, sekalipun dalam skala jumlah orang yang lebih sedikit, hanya puluhan juta jiwa mungkin. Tetapi kesempatan yang telah digenggamnya itu disia-siakan begitu saja.
Katakan dengan ‘proyek pasar tradisonal’ yang sebut di atas berhasil, lalu diikuti ‘proyek-proyek’ lain di HKTI, dan ormas lainnya, maka akan mampu mengubah persepsi dan sikap orang banyak, bahkan mungkin sebagian besar rakyat Indonesia. Mereka akan melihat diri Prabowo sebagai ‘pahlawan’ masyarakat. Prabowo adalah bagian dari kita, rakyat. Orang akan melihat sang mantan pemimpin militer itu sudah transformasi menjadi seorang pemimpin publik. Maka sudah pasti Jokowi akan ‘lewat’ begitu saja dan tak nampak berarti sama sekali.
Kesuksesan kerja di masyarakat secara sungguh-sungguh bisa saja akan membuat orang mengesampingkan ‘persoalan’ masa lalu Prabowo. Orang akan melihat Prabowo ‘yang dulu’ itu sudah ‘bukan yang dulu’. Sudah berubah. Tapi itu tak dilakukannya. Kesempatan besar selama bertahun-tahun telah berlalu.
Atau memang sejarah harus begitu? Prabowo Subianto, seorang jenderal purnawirawan, mantan pemimpin militer, pemilik dan pemimpin 27 perusahaan, yang selama bertahun-tahun ingin menjadi Presiden RI itu nanti hanya dapat melihat nanar si Joko Widodo, pemilik usaha mebel, mantan Walikota Solo, mantan Gubernur DKI, yang sederhana itu dilantik menjadi orang nomor satu di Republik Indonesia ini di tahun 2014..
Freddy Gunawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H