Lihat ke Halaman Asli

Warisan Terbaik Sebuah Persahabatan

Diperbarui: 24 Februari 2017   04:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: indiewire.com

Sebuah buku dibaca dari awal hingga akhir, tapi cara terbaik untuk memahaminya dimulai dari akhir.

Bagaimana jika seorang ibu hanya punya enam bulan sisa hidupnya? Yang ia punya adalah seorang anak perempuan kecil berusia 10 tahun. Bagaimana jika seorang gadis berusia 16 tahun tahu bahwa ibunya sedang sekarat dan kematian siap merenggutnya kapan saja? Ia akan menahan napas sepulang sekolah setiap harinya hanya untuk memastikan bahwa ibunya masih memiliki napas.

Itulah yang dirasakan Marie Brooks (Natasha McElhone) yang menderita kanker payudara dan putrinya Charlie Brooks (Britt Robertson). Tapi nyatanya Marie masih bisa hidup hingga enam tahun ke depan, meski ia hanya bisa beristirahat di rumah dan bernapas dengan sebuah tabung oksigen portabel. Bagi Charlie, rasanya terlalu menyakitkan untuk menyayangi orang yang paling dicintainya tapi pada saat bersamaan sadar bahwa tidak lama lagi orang tersebut akan pergi.

Kehadiran Mr. Church
Pagi hari tahun 1977 di Los Angeles, Charlie terbangun dan menyaksikan seorang lelaki kulit hitam sedang memasak di dapur rumahnya. Marie menjelaskan ia adalah Henry Church (Eddie Murphy), seorang tukang masak yang ditugaskan mantan Marie, Richard Cannon. Mr. Church—begitu ia dipanggil—sebelumnya bekerja untuk Richard.

Richard meminta Mr. Church memasak (termasuk berbelanja, membayar tagihan dan urusan-urusan rumah tangga lainnya) selama enam bulan untuk Marie dan Charlie. Sebagai imbalan, Mr. Church diberi gaji seumur hidup. Mr. Church sudah tiba di rumah sebelum Marie dan Charlie bangun, dan pulang ketika mereka akan tidur. Begitu setiap hari.

Charlie kecil bersifat nakal dan sombong. Ia awalnya menolak kehadiran Mr. Church. Ia terus mencoba memengaruhi ibunya agar mengusir Mr. Church. Tapi masakan Mr. Church yang lezat ternyata meluluhkan anak kecil yang lucu ini. Charlie mulai bersahabat dengan Mr. Church. Dari Mr. Church, Charlie juga mulai tertarik membaca novel. Novel pertamanya adalah The Three Masketeer-nya Alexander Dumas.

Seiring dewasa, mereka semakin dekat. Charlie semakin nyaman dengan Mr. Church. Mr. Church pun membantu Charlie mengurusi Marie yang sudah di ujung usianya. Hingga ajal akhirnya menjemput Marie. Sebuah kehilangan besar bagi Charlie. Kehilangan yang juga membuat Mr. Church menangis.

Kepergian Marie membuat Charlie hanya memiliki Mr. Church. Setelahnya, Charlie melanjutkan hidupnya dengan kuliah di Universitas Boston. Berbekal dengan uang yang disiapkan Marie dan Mr. Church dari kupon belanjanya selama ini. Beberapa tahun berikutnya ia pulang ke LA. Ia mencari Mr. Church, satu-satunya tempat yang ia tahu sebagai rumahnya. Tak sendiri, ia bersama dengan bayi yang ada di perutnya.

Sebagaimana Marie yang mengandung Charlie tanpa nikah, Charlie juga mengandung bayinya (kemudian bernama Isabel) tanpa ikatan pernikahan. “Hamil tanpa nikah adalah warisan keluarga Brooks,” ujar Charlie di salah satu adegan. Ketika Isabel (Grace McKenna) lahir dan kemudian tumbuh menjadi seorang anak perempuan lucu, sebagaimana Charlie kecil (Nataly Coughlin), Mr. Church-lah yang mendampingi dan bertindak selayaknya seorang ayah.

Seperti itulah gambaran kehidupan yang dijalani Charlie. Bisa dibilang sepi, tetapi kehadiran Mr. Church mampu mengisi kesepian itu. Charlie tak memerlukan orang lain ketika Mr. Church ada. Maka tatkala Mr. Church sakit dan kemudian meninggal, Charlie juga Isabel merasakan kehilangan. Kehilangan sahabat yang juga sekaligus ayah bagi keluarga kecil mereka.

Tak banyak kerumitan yang disajikan film ini pada penonton. Tapi pesannya jelas: tentang sebuah persahabatan sejati. Persahabatan sejati tidak memandang perbedaan usia maupun warna kulit. Kisah yang disajikan mudah dipahami terutama karena narasi yang diceritakan oleh Britt sepanjang film ini. Cerita ini disusun berdasarkan pengalaman sang penulis naskah, Susan McMartin. Bagi Beresford, film ini menjadi medium nostalgianya dengan filmnya terdahulu, Driving Miss Daisy (1989),yang punya kemiripan cerita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline