Konon, saat Harmoko sudah berhenti dari jabatannya sebagai Menteri Penerangan semasa Orde Baru, ada cerita seorang perempuan yang mendatangi kantor Departemen Penerangan untuk mencari Harmoko. Kepada petugas jaga di lobi kantor itu, ia bertanya, "Apakah Pak Harmoko nya ada?". Dengan sopan si petugas menjawab, "Maaf Bu, tapi Pak Harmoko sudah tidak menjabat lagi". Perempuan itu pun pergi.
Keesokan harinya, si perempuan datang lagi. Dengan pertanyaan yang sama. Petugas agak heran, kemudian menjawab persis seperti jawaban kemarin, "Maaf Bu, tapi Pak Harmoko sudah tidak menjabat lagi." Hari ketiga, si perempuan datang lagi. Petugas yang masih juga sama sekali lagi menjawab dengan rasa yang semakin heran tentunya, "Tapi maaf Bu. Kemarin kan sudah saya bilang, Pak Harmoko tidak menjabat lagi".
Hari selanjutnya si petugas mulai menerka apakah hari ini si perempuan itu datang lagi. Dan benar saja, si perempuan datang dengan pertanyaan yang masih sama seperti hari pertama, "Apakah Pak Harmoko nya ada?". Kali ini, dengan si petugas masih menjawab dengan jawaban yang sama tapi mulai sedikit tertawa karena berpikir perempuan ini gila.
Kejadian itu menjadi perbincangan di seisi kantor. Si kepala kantor kemudian menyarankan agar keesokan harinya si perempuan dibawa ke ruangan. Maka pada hari kelima kedatangan perempuan itu, si petugas hanya menjawab, "Mari ikuti saya".
Sesampai di ruangan kepala kantor itu, si kepala bertanya, "Mengapa Ibu selalu mencari Pak Harmoko. Beliau sudah tidak menjabat". Si perempuan hanya menjawab, "Setiap kali saya mendengar ia sudah berhenti, saya selalu merasa senang," jawabnya.
Hal sama saya rasakan tiap kali menonton pertandingan Barcelona yang tidak dimenangkan Barcelona. Bedanya, cerita Harmoko diatas adalah fiksi, tapi yang ini adalah kenyataan. Entah kenapa. Barcelona menguasai pertandingan sudah pasti. Bila Anda adalah seorang fans Barcelona (Cules), itu pasti tidak apa-apa. Tapi bagi saya, sudah hampir 10 tahun menyaksikan Barcelona bermain dengan gaya seperti sekarang dan sudah bosan (baca: muak) dengan itu. Hal sama yang juga saya rasakan tiap kali Sergio Busquets jatuh. Apakah memang betul-betul dilanggar atau tidak, saya selalu merasa kalau ia jatuh itu adalah diving. Ini bermula dari diving-nya saat ditabrak Thiago Motta pada 2010.
Sejak Josep Guardiola melatih Barcelona, sejak itu pula Lionel Messi menjelma jadi pemain terbaik di dunia, Barcelona jadi tim sangat superior di dunia. Wajar bila saya selalu mendukung tim yang dilawan oleh Barcelona sejak itu. Saya ingat sebuah ujaran yang menyatakan 'bila gajah dan kucing bertarung dan kau memilih netral sama saja artinya kau tidak netral'.
Pertandingan leg pertama di Parc des Princes pada Rabu (15-2) dinihari tadi adalah pemandangan yang sangat jarang terjadi. Barcelona hanya menguasai 44% bola! Pertandingan itu adalah sebuah kekalahan yang sebenar-benarnya kekalahan yang dialami Barcelona. Bukan seperti kalah dari Celta Vigo dengan skor 1-2, ada keberuntungan untuk Celta disitu. Dan orang yang mengalahkan Barcelona itu adalah Unai Emery, pelatih Paris Saint Germain (PSG).
Sejak membawa promosi UD Almeria ke La Liga, saya sudah menduga Emery bukan pelatih sembarangan. Pendekatannya sangat taktikal ala pelatih-pelatih di Italia. Sangatlah wajar PSG merekrutnya di awal musim, dengan modalnya juara 3 kali di Liga Europa. Emery menginstruksikan Marco Verratti dkk menyerbu sejak kick-off. Sekaligus pressing cepat saat kehilangan bola. Itu rumus umum, di atas kertas mudah, tapi sangat susah diimplementasikan di lapangan apalagi melawan Barcelona.
Yang berhasil dilakukan Emery adalah menguasai lini tengah. Padahal lini tengah-lah kunci utama permainan yang biasa dilakukan oleh tim dengan filosofi seperti Barcelona. Iniesta, Sergio Busquets, dan Andre Gomes terkunci oleh permainan agresif gelandang-gelandang PSG. PSG menumpuk pemain-pemainnya di tengah lapangan. Tahu bahwa keunggulan gelandang-gelandang miliknya di kecepatan, Emery memerintahkan PSG menyerbu dengan kencang. Di menit pertama saja, kita sudah bisa lihat akselerasi dilakukan Adrien Rabiot dengan kencang untuk menembus pertahanan Barcelona.
Beberapa kali juga Draxler misalnya, leluasa meninggalkan gelandang Barcelona untuk berhadapan langsung dengan Sergi Roberto, bek kanan Barcelona. Begitu mudahnya PSG menekan Barcelona sepanjang pertandingan. Saya awalnya mengira PSG hanya sanggup bermain agresif dalam 1 babak saja. Tapi justru di babak kedua, PSG semakin mengeksploitasi kelemahan Barcelona malam itu. Barcelona benar-benar lemah malam itu. Tidak ada sentuhan-sentuhan yang biasanya sangat cantik. Bek muda Kimpembe dengan gampang merebut bola dari kaki Lionel Messi.