Lihat ke Halaman Asli

Debar-debar Cinta

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1328349446310806970

Sewaktu jaman saya masih remaja, saya tidak bisa mengerti bagaiman seseorang bisa menghabiskan sisa hidupnya dengan orang yang sama. Bagaimana bisa seseorang bisa mencintai orang yang sama, yang ditemuinya setiap hari, yang itu-itu melulu. Sungguh susah dipahami. Hingga suatu saat saya bertemu dengan seorang pria yang mambuat hati saya luluh, yang mampu membuat jantung saya-saya deg-degan, hati berdebar-debar, berbunga-bunga atau mungkin berpijar-pijar bila berjumpa dengannya. Singkat kata akhirnya saya bersedia menandatangani kontrak menjadi pendampingnya seumur hidup, mengikat diri padanya dengan tali suci. Tapi tahukah anda apa yang saya rasakan saat ini. Sepertinya jarang sekali hati ini deg-degan bila berjumpa dengannya (kecuali saya sedang kebanyakan minum kopi). Lalu apakah sirna keinginan saya untuk bersamanya sampai tutup usia? Tentu saja tidak. Waktu saya masih kecil pasti selalu ingin bersama ibu, bahkan mungkin seperti kecanduan. Padahal sudah setiap hari saya bertemu ibu. Begitu melek di pagi hari ada ibu, mandi sama ibu, maem sama ibu, bermain ditemani ibu. Apa itu membuat saya bosan? Mungkin. Tapi coba saja beberapa jam saja berpisah, pasti sudah gelisah mencari. Merengek bahkan menangis bila perlu. Sampai saat ini pun saya masih sering merasakan hal yang sama saat pulang ke rumah beliau (tapi tanpa merengek dan menangis lagi, yaa...). Hal yang sama terjadi lagi dengan orang yang berbeda, saya terhadap suami. Berpisah dalam hitungan jam pun mampu membuat saya kangen pada suami. Bila saya pulang ke rumah lebih dulu dari dia, maka saya akan segera lompat begitu mendengar suara motornya datang. Mengintipnya dari balik pintu, melihatnya tersenyum dan melambaikan tangannya kepada saya. Persis seperti anak kecil yang melihat ibunya pulang dari bepergian. Terkadang saya akan tertidur dengan gelisah bila suami sedang tidak pulang ke rumah karena urusan kerja. Bukan karena saya khawatir dia kemana-mana, tapi karena sangat tidak nyaman berangkat tidur tanpa kehadirannya. Saya sering menggerutu bila mencium bau asem ketek karena dia malas mandi bila pulang kerja terlalu malam. Tapi sungguh, saya memilih ada bau asem itu daripada pemilik ketek itu tidak ada (semoga dia tidak membaca bagian yang ini). Debaran itu kini tak lagi hadir setiap hari. Sama saja seperti anda tak lagi berdebar-debar melihat tangan anda. Mungkin kalah berdebar saat anda akhirnya membeli jam tangan mahal yang sudah sangat lama anda inginkan. Kenapa? Karena tangan anda selalu bersama anda, membantu melakukan semua perkerjaan dan aktifitas yang anda inginkan. Namun anda pasti tahu betapa berharganya tangan anda. Dan saya yakin tak akan rela menukarnya dengan seribu jam tangan yang baru anda beli tadi. Sekarang pertanyaannya, berapa sering anda bersyukur kepada Allah Sang Maha Pemurah yang telah menganugerahkan tangan tersebut kepada anda? Seberapa sering bersyukur atas keberadaan orang-orang terpenting dalam hidup anda? Kalau pertanyaan itu anda kembalikan ke saya, jawabnya adalah jarang. Sangat jarang. Dan itulah kebodohan serta kesalahan yang paling sering saya lakukan, bahkan sampai hari ini. Saya seringkali lupa bersyukur, berterimakasih atas anugerah tak terkira yang dikaruniakan setiap hari.  Sering saya lupa berterimakasih kepada Allah, padahal Allah telah memberi saya suami, keluarga, sahabat dan rekan kerja yang hebat dan penuh cinta. Semoga setelah ini penyakit lupa bersyukur saya akan berkurang. Bersyukur dengan lisan & hati, bersyukur dengan ucapan dan tindak tanduk. Semoga. Sudah bersyukurkah anda hari ini untuk keberadaan orang yang mungkin tak bisa membuat hati anda berdebar-debar namun hidup ini menjadi jauh lebih indah karena keberadaannya?... [caption id="attachment_160279" align="alignnone" width="300" caption="Ilustrasi nyomot dari Google"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline