Lihat ke Halaman Asli

Iso Opo?

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Bisa ini? Oh..tentu, biar sedikit-sedikit. Bisa itu? Oh..jelas,  meski sedikit-sedikit. Tampak sangat sempurna menjadi si serba bisa, ini itu bisa meski sedikit-sedikit. Tapi kalau mau kita balik, justru sebenarnya kurang bagus dan mampu menjadi bumerang. Semua bisa, tapi kok sedikit-sedikit. “Lha terus yang bisa sampeyan lakukan dengan benar-benar  itu apa?“ Jujur saya juga pernah memberikan pertanyaan ini kepada diri saya sendiri, bisa dibilang telat karena usia saya hampir kepala tiga. Keinginan saya banyak, saya memiliki ketertarikan dan minat yang hampir sama tinggi pada banyak hal. Ya akhirnya itu tadi, ini bisa itu bisa tapi ya sedikit-sedikit. Beruntung saya mempunyai pasangan hidup yang sekaligus mampu merangkap penasehat pribadi plus motivator. Proses pertama tentu saja: dipilih, dipilih, dipiliiiih... OK, apa hal utama yang sangat menarik minat saya. Pemilihan mulai dikerucutkan. Hmmm..ini, ada 1. Eh enggak ding... ada 2, boleh ya.. OK akhirnya ada 2. Yang lainnya terpaksa dipinggirkan. Tak ada yang lebih membahagiakan kecuali mengerjakan sesuatu yang sangat anda minati dan kemudia anda dibayar karenanya. Itu namanya ‘hobi yang menghasilkan uang‘. Kemudian saya harus menemukan kompetensi saya sebenarnya ada di mana. Salah satu kekurangan saya adalah seringkali saya meributkan dan mengkhawatirkan hal-hal yang menjadi kelemahan saya. Akibatnya saya sering berkonsentrasi pada kelemahan itu, dan menghabisakan waktu dan tenaga untuk menutupi serta meningkatkannya. Ya hasilnya tentu tak seberapa, lha wong emang dasarnya saya sudah lemah di situ. Kemudian penasehat pribadi saya mulai membimbing untuk merubah pola pikir. Daripada termehek-mehek  memperbaiki kelemahan dengan hasil tak seberapa, akan jauh lebih bagus bila saya memperbaiki dan terus meningkatkan kelebihan. Ya, saya rasa memang sangat tepat saran beliau dan saya mampu melihat perbedaan yang saya buat. Peningkatan kelebihan akan akan menjadi lebih signifikan dibanding pengurukan kelemahan. Jadi saya mulai mencoba mengikhlaskan, bahwa dalam beberapa hal memang saya tidak becus melakukannya. And that is OK! Langkah selanjutnya adalah kesempatan apa yang ada di depan mata, segera ambil. Jadikan yang nomor 1. Kesempatan tidak datang setiap hari,kan? Lagipula kita harus realistis. Lha terus piye nasib yang nomor 2? Setelah saya perhatikan kebetulan pilihan nomor 1 akan lebih banyak memerlukan kinerja  otak kiri, sedangkan nomor 2 akan lebih didominasi oleh kerja otak kanan. Jadi akan sangat bagus kalau keduanya tetap diasah. Lagi pula tidak pernah tertutup kemungkinan adanya ‘second carier’ bila suatu saat keluar dari sangkar emas, jadi tidak perlu bingung-bingung lagi. Kemudian inilah langkah terakhir tapi justru menjadi roh utama : terus berdo'a. Biarkan Yang Maha Tahu membawa anda kepada yang terbaik. Semoga anda mampu menemukan potensi anda dan memiliki kesempatan untuk mencemerlangkannya di tempat yang tepat. Selamat berkarya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline