Lihat ke Halaman Asli

Susah Payah Membangun Citra (Saja)!

Diperbarui: 6 Juli 2015   17:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Situasi tragis yang terjadi di negeri ini: Pertama, orang miskin tak boleh sekolah. Berikutnya, orang miskin tidak boleh punya rumah. Yang ketiga, orang miskin tak boleh sakit. Dan, yang terakhir, yang paling membuat kita (sekurang-kurangnya, saya) menangis: bahkan mati pun bagi orang miskin tetaplah susah. Bukankah kuburan sekarang mahal dan sulit.

Satu lagi penderitaan yang harus ditanggung oleh saudara-saudara kita ini. Sebuah tragedi di negeri ironi: orang miskin tidak boleh makan! Rumusan ini mungkin terlalu melebih-lebihkan tapi bukankah itu kenyataan yang memang sungguh-sungguh terjadi? Ketika Indonesia melakukan pembangunan di sana-sini, ketika mall-mall didirikan di sana-sini, ketika para calon kepala daerah gembar-gembor program kerjanya yang hebat-hebat supaya dipilih dalam Pilkada, ketika iklan tv berteriak: hari gini ngga punya hp, masih ada juga orang yang kelaparan. Ironis, sungguh-sungguh ironis! Di manakah letak pembangunan yang pemerintah Indonesia usahakan? Pembangunan bagi kesejahteraan manusia secara umum atau hanya ingin menggapai citra: bangsa yang maju adalah bangsa yang bisa membangun sarana fisik: jalan tol, mall, gedung-gedung bertingkat, bangsa yang pejabatnya punya mobil-mobil mewah, rumah besar, dan pemudanya menenteng telepon genggam model terbaru?

Pembangunan Indonesia memang nampaknya hanya ingin membangun citra. Namanya menggapai citra, tentu saja tidak pernah nyata, alias semu. Rene Girard pernah mengatakan sesuatu menjadi menarik karena diinginkan oleh orang lain. Filsuf ini menyebutnya dengan istilah hasrat mimesis atau meniru. Mentalitas meniru inilah yang tampaknya diadopsi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini.Keinginan untuk diterima dan diakui sebagai negara maju membuat Indonesia justru lupa untuk memikirkan kesejahteraan penduduknya. Yang dipikirkan justru membangun sarana-sarana yang kelihatan (tentu saja supaya terlihat) bahwa bangsa kita adalah bangsa yang bisa membangun. Maaf, kiblat yang ditiru Indonesia seakan-akan terlalu muluk: kunjungan kerja ke Jepang, kunjungan kerja ke negara-negara Eropa, kunjungan kerja ke Amerika. Mengapa kita tidak belajar justru pada negara-negara yang notabene masih berkembang namun kesejahteraan warga negaranya tercukupi: Brunei atau Singapura, misalnya?

Lebih parah lagi, mentalitas ini juga merasuk masuk dalam pribadi-pribadi manusianya. Di benak orang-orang yang memegang kekuasaan, citra atau gambaran ideal yang tumbuh dan ingin ditiru adalah citra orang-orang kaya dengan mobil mewah, rumah besar, dan uang banyak. Hasilnya, karena harus bersaing keras dengan orang-orang yang punya interese yang sama, korupsilah yang terjadi di mana-mana. Belum lagi para pemudanya yang ‘terkintil-kintil’ harus membeli telepon genggam model terbaru karena tidak mau dianggap kuno: hari gini ngga punya hp.

Citra yang ingin ditiru oleh masyarakat kita adalah citra yang dibentuk oleh selera pasar. Padahal, menurut Pierre Bourdieu dalam bukunya La Distinction (1979), selera itu ditentukan dan diorganisasi oleh masyarakat yang memiliki modal baik finansial, pengetahuan, atau relasi. Keadaan ini, menurut Bordieau, justru memunculkan ketidakadilan. Banyak orang berlomba-lomba untuk bisa memenuhi selera pasar meski selera pasar itu selalu berubah. Mungkin, saat ini, selera pasar adalah sepatu dengan merek ini, jam tangan dengan merek ini, mobil dengan merek ini, atau telepon genggam dengan seri ini. Tahun depan, bulan depan, atau bahkan minggu depan, sudah berganti menjadi sepatu merek itu, jam tangan merek itu, mobil merek itu, atau telepon genggam dengan seri itu. Besok, sudah berubah lagi. Seperti itu seterusnya. Keinginan orang untuk selalu memenuhinya adalah keinginan untuk menempatkan diri mereka untuk menguasai orang lain. Ketika orang ingin menguasai orang lain inilah, ketidakadilan terjadi. Orang-orang miskinlah yang harus menderita, tergeletak tak berdaya karena ditinggalkan oleh orang-orang yang larut dalam persaingan mereka sendiri.

Orang-orang miskin tidak punya modal untuk bisa terlibat dalam proses meniru citra. Modal finansial mereka tak punya. Bayangkan saja, berapa penghasilan yang didapatkan oleh mereka di Nusa Tenggara sana. Modal pengetahuan, jelas saja mereka tertinggal jauh. Bukankah orang miskin dilarang sekolah? Bagaimana bisa punya modal kalau makan saja sulit? Begitulah, mereka akan tetap dalam posisi tertindas. Ironisnya, nasib mereka tidak pernah diperjuangkan oleh pemerintah yang punya ‘gawe’ membangun bangsa Indonesia.Persis, itulah yang dialami oleh saudara-saudara kita. Sangat mungkin bahwa orang-orang yang terkena busung lapar dan kekurangan nutrisi adalah korban ketidakadilan. Mereka menjadi pribadi yang terlupakan karena para pembangun negeri sedang larut memperebutkan kekuasaan. Lalu, apa yang harus dibuat sekarang?

Pembangunan juga harus diarahkan pada kesejahteraan manusianya secara umum. Karena itulah, usaha untuk meningkatkan penghasilan masyarakat di daerah harus menjadi program yang diwujudnyatakan. Entah kebetulan atau tidak, akan ada para kepala daerah terpilih dengan program-program baru yang tentunya sangat menjanjikan. Kita akan melihat bersama perjuangan mereka: memperjuangkan yang miskin dan tertindas atau terpuruk ambruk ke jurang dalam karena hanya memperjuangkan dirinya sendiri. Maaf, tidak hanya melihat, tetapi tugas kita jugalah untuk tidak jatuh lagi pada pembangunan negeri Indonesia yang semu. Namun, menjadikan nyata pembangunan ini juga untuk kesejahteraan hidup mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline