“Rumah saya di kampung neng, tiga, sawah juga ada. Lumayan lah, neng!” ujar Rosik (51).
Berteduhkan plastic bening lebar yang dikaitkan antar tiang di sekitarnya, Rosik melawan hujan untuk istri dan ketiga anaknya. Deras rintik hujan Pasar Minggu malam itu, tak melunturkan semangat Rosik melanjutkan aktivitasnya mencelupkan satu demi satu tahu tempe pisang ke dalam penggorengan penuh minyak.
“Kalo hujan begini lumayan kurang juga neng (penghasilan-red),” ujarnya.
Tiga puluh empat tahun sudah Rosik mengadu nasib ke Jakarta.Iming-iming “SUKSES”dan suguhan pemandangan indah yang dipertunjukkan oleh tetangga-tetangga sepulang dari Jakarta membuatnya segera menjejakkan kaki di Kota Metropolitan itu.Bermodalkan gerobak dan penggorengan Rosik mengawali kariernya sebagai pedagang kaki lima dengan spesifikasipenjual gorengan di daerah Pejompongan. Kapan dan bagaimana bisa pindah lokasi usaha ke pelataran pasar di Pasar Minggu tak ada jawaban pasti.
Terik matahari, dinginnya malamdan terkadang hujan menjadi “sahabat”nya setiap hari . Seperti malam ini, canda tawa tetap terlontar meski hujan menghampiri. Semua dijalaninya untuk mengumpulkan lembar demi lembar uang yang harus dikirimkannya ke kampung demi pemenuhan kebutuhan hidup istri dan keempat anaknya. Sebatang kara saja Rosik mengais rejeki di ibu kota, menempati kontrakan di bantaran Kali Ciliwung. Tak hanya banjir yang tak pernah absen jika hujan derasmengguyur tiada henti, ancaman longsor pun bisa menjadi realita sewaktu-waktu.
Pungutan liar, “sahabat” lain yang juga tak kalah dekat. Dari iuran satu ke iuran yang lain dipungut dari Rosik setiap hari, tanpa diketahui manfaat apa yang akan diperolehnya kelak. Satu “sahabat” lagi yang selalu datang di sekitar hari raya adalah petugas keamanan dan ketertiban. Kedatangannya yang tiba-tiba untuk mengangkut paksa gerobak Pedagang Kaki Lima (PKL)bisa membuat Rosik maupun rekan seprofesi gigit jari selama beberapa masa. Meskipun saat ini petugas keamanan dan ketertiban bisa diajak berkompromi dengan beberapa batang rokok dan beberapa potong gorengan, tetapi kedatangannya tetap membuat PKLharus meninggalkan lokasi usahanya sementara waktu.
Namun siapa sangka sosok yang tampak lebih tua dari umur sebenarnya itu memiliki tiga buah rumah di kampung halamannya dan beberapa petak sawah. Kesetiaannya menanti setiap pelanggan yang datang sejak matahari masih berada di timur hingga matahari kembali tidur ternyata membuahkan hasil yang sepadan. Tak kurang dari lima lembar lima puluh ribuan diperolehnya setiap hari dengan margin keuntungan lima puluh persen. Rata-rata setiap bulannya Rosik bisa mengumpulkan tiga juta rupiah dari gorengan yang dijualnya. Jumlah inilah yang setiap bulannya dikirimkan Rosik ke kampung.
Ibu kota oh ibu kota.
Oleh karena ibu kota, Rosik rela berteduh di bantaran Ciliwung. Oleh karena ibu kota, Rosik berkejaran dengan petugas keamanan dan ketertibanjuga berhadapan dengan pungutan liar. Oleh karena ibu kota,Rosik menggenggam sawah dan tiga rumah.
Terbersit: apa yg sebenarnya mereka tuju?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H