Lihat ke Halaman Asli

Kemelut

Diperbarui: 11 Februari 2016   09:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Teman, kemarilah. Aku punya cerita untukmu. Dengarkan aku. Tidak, jangan kau pandang air mataku. Aku lelaki. Tapi tak apalah. Tak penting lagi. Aku hanya manusia. Kau juga. Kita sama. Maafkan aku, tak sepantasnya kau melihatku seperti ini. tapi mengertilah, aku juga tak menginginkannya. Aku hanya kacau. Tidak, aku tak butuh nasehatmu. Terserah kalau kau mengasihaniku. Tapi ketahuilah, aku tak butuh dikasihani. Ya, duduklah. Duduklah disampingku. Hanya disampingku. Temani aku. Satu malam saja. Tak lebih. Terima kasih. Kau sangat baik.

.....

Sakit ini masih tersimpan. Tidak tampak, tetapi terasa. Sangat terasa. Bahkan menyesakkan. Tak bisakah dia rasakan? Tidak, dia tak bisa. Tak akan bisa. Bagaimana mungkin batu sepertinya akan melunak. Dan akupun tak akan peduli saat dia mencair sekalipun. Terlambat. Hanya bekas luka yang dia tinggalkan. Akan ku biarkan membusuk, menyisakan jejak yang akan ku ingat sampai kapan pun. Aku tak menginginkannya lagi.

Namun, Seandainya aku bisa melakukannya, ketahuilah, aku ingin. Pada kenyataannya aku hanya pecundang yang mengharapkan belas kasih yang (mungkin) tak akan pernah terbalas. Aku kalah. Bagiku, dia tak pernah pergi. Sampai kapan? Entahlah. Aku suka dengannya.

Terkutuk! Terkutuklah aku yang memelihara sakit ini, sakit yang bahkan membuatku tersiksa. Ulah siapa? Dia! Lantas kenapa aku pertahankan dirinya yang bahkan tak pernah mau menolehku lagi? Sekedar menyapa pun tidak. Tak ada kasih dalam dirinya. Aku tau. Semua orang tau. Terkutuk!

Ya, meskipun demikian aku pernah leleh. Leleh dari batuan keras yang bahkan aku beri pagar berduri di luarnya. Dia berhasil. Dia berhasil hingga tidak ada lagi aku dan dia. Hanya kami. Saling mengisi, saling memberi, saling berbagi, saling melengkapi, ah... itulah kami. Setiap detik bahkan aku ingat setiap jengkal dirinya. Kurasa aku merindukannya kembali.

Rindu? Ya aku memang rindu, tapi dia tidak! Dia batu, dia pedang, dan dia apapun di dunia ini yang tak berhati. Dan tak berarti. Dingin, tajam, keras, dan tak peduli. Aku benci dirinya. Demi apapun aku akan membencinya. Ya, kau pun harus membencinya. Siapapun akan membencinya. Harus.

Tapi, tidak, aku membutuhkannya. Aku tidak akan melewatkan hari esok tanpanya. Aku takkan sanggup. Seharusnya dia masih disini, terjaga disampingku. Aku bersumpah tak akan aku palingkan wajah ini menatapnya. Aku hanya ingin pastikan bahwa dia tak akan pergi. Bila dia pun jenuh dan mulai berpaling setidaknya aku bisa berikan dekapan ini untuk menahannya.

Ah, persetan dengan dirinya. Aku tak akan rela memberi dekapan untuknya yang bahkan aku tau ada dekapan lain untuknya. Percuma mengasihinya. Kau tau, ya, hanya sia-sia. Dia iblis dan dia sadis, hanya singgah seenaknya. Kau pikir siapa dia? Enyah sajalah dia. Pergi dan jangan biarkan dia injakkan kakinya padaku. Biarlah dia pergi pada yang lain. Biarlah dia bersenang-senang tanpaku karena aku muak melihatnya. Sekali lagi aku tak menginginkannya. Enyahlah. Enyahlah!

.....

Teman, Aku lelah. Aku lelah seperti ini. Aku menyerah. Dia pernah berharga untukku. Begitu pun aku juga pernah berharga baginya. Biarkanlah tetap seperti ini. Past is in the past. Aku tetap menghargainya, menghargai pendiriannya. Dan aku akan tetap berjalan. Dengannya atau tanpanya aku akan melangkah penuh keyakinan, hingga batu keras berpagar duri ini akan kembali mencair. Mencair lebih jernih dan murni. Sangat indah.

Ya, kau benar. Terima kasih kau mau mendengarku. Aku bersyukur memilikimu, teman. Kau sangat baik.

Twitter : @rezaberlianto




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline