Lihat ke Halaman Asli

Siapakah Koba?

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1422064946320537029

Koba mengendap-endap di batang pohon, mengintai Caesar di kejauhan yang sedang merayakan kebahagiaannya. Matanya terpicing, lalu diangkatnya senjata dan diarahkan tepat ke dada sang pemimpin. Mata mereka beradu sejenak. Caesar heran, dan penasaran. Tak sempat terjawab karena sebuah peluru meluncur tepat ke dadanya. Menjatuhkannya dari singgasananya. Sementara tak jauh dari situ, api menjalar perlahan, menggerogoti setiap harapan yang pernah mereka bangun bersama.

10 tahun sudah berlalu sejak Caesar memulai revolusi kera yang membawa keluar kera dari cengkraman manusia. Mereka bukan kera biasa, karena koloni tersebut adalah sekumpulan kera dengan kecerdasan yang ditingkatkan, yang membuat mereka mampu berpikir, berinteraksi, hingga berbicara hampir seperti manusia. Kesamaan nasib dan cita-cita yang mengawali revolusi itu kemudian menghasilkan satu prinsip yang teguh mereka pegang: ape not kill ape.

Sementara koloni kera cerdas itu berkembang, manusia di sisi lain tergerus jumlahnya karena sebuah wabah yang belum ditemukan penawarnya. Peradaban manusia mandek, menyisakan sedikit manusia di antara puing kota yang terlantar. Tanpa listrik dan politik menjadikan manusia pincang. Lalu kedua sisi itu bertemu kembali: kera cerdas dan manusia yang terpojok. Menarik, karena dalam pertemuan itu manusia jadi underdog.

Pertemuan itu tak disukai sebagian besar kera. Koba adalah yang paling lantang menyuarakannya. Hal ini dikarenakan ia merupakan salah satu korban manusia yang saat itu berada di puncak kejayaannya. Ia disayat, diikat dan dijadikan eksperimen berulang kali, yang membuatnya tak melihat sedikit pun sisi baik dari manusia. Koba ingin manusia dihantam saat sedang terperosok. Koba ingin perang, walau itu berpotensi membuat kera lain terbunuh. Sedangkan Caesar—yang dididik oleh manusia lain dengan pendekatan yang bertolak belakang—tak sepakat. Ia yakin bahwa manusia bisa dipercaya, pun ia tak ingin membahayakan kera lainnya dengan berperang. Perbedaan pandangan  di antara keduanya menggoyahkan prinsip yang mereka genggam.

Koba adalah sebuah analogi dari luka yang—walau mengering—tak pernah menutup. Perawakannya dengan mata yang cacat dan tubuh yang hampir botak seakan menegaskan perannya sebagai pihak yang terbuang. Ia begitu berbeda bahkan di tengah kaumnya sendiri. Ia adalah luka yang mendendam. Manusia adalah masalah, begitu Koba percaya, dan membuatnya menolak percaya segala sisi positif mereka. Kebenciannya pada manusia begitu membutakan hingga membawanya kepada satu keputusan besar: mengkudeta Caesar, membumihanguskan tempat tinggal koloninya sendiri dan memulai perang dengan manusia.

Dawn of the Planet of the Apes merupakan sebuah pameran metafora yang menarik. Film ini—yang diadaptasi dari novel Planet of the Apes karya Pierre Boulle—tak sekedar berisi parade hitam lawan putih yang biasa ditampilkan film-film aksi hollywood namun juga menampilkan dengan baik kedalaman emosi berupa harapan, keputusasaan hingga pengkhianatan. Koloni kera cerdas dengan prinsip yang dikultuskan: ape not kill ape, merupakan simbol dari pemurnian dan harapan baru dimana Caesar, sang pemimpin, berharap generasi baru yang dipimpinnya tak mengulang kesalahan manusia terdahulu. Sebuah harapan yang dibangun melalui primordialisme.

Namun apakah akar kebencian? Siapakah anak kandung dari kebiadaban? Perilaku Koba menunjukkan bahwa kesamaan identitas, label atau kelompok, sejatinya tak menjamin nihilnya pengkhianatan terhadap nilai atau bahkan pemusnahan terhadap kaum sendiri. Hingga saatnya sekarat Caesar akhirnya berkata terbata-bata:

“I am to blame. I chose to trust him (Koba)—because he is ape.”

Ya, kekejian yang busuk merasuk setiap hati tak pandang bulu dan fanatisme lah yang menyuburkannya.

Koba dan Charlie Hebdo

Beberapa minggu terakhir, dunia dihebohkan dengan pembunuhan para kartunis Charlie Hebdo. Pelakunya adalah sekelompok orang yang didukung Al Qaeda. Seperti yang bisa ditebak: dunia terbelah dua. Kedua pihak menyatakan pembelaannya masing-masing. Kebebasan bersuara dianggap sudah kebablasan dengan menyerang simbol agama yang paling krusial sedangkan yang lain menganggap bahwa dalam demokrasi tak ada yang suci, dan itu berarti semuanya boleh ditertawakan.

[caption id="attachment_347773" align="aligncenter" width="700" caption="Serangan terhadap Charlie Hebdo di Paris. Sumber gambar: firstlook.org"]

14220636711181173861

[/caption]

Serangan teroris Al-Qaeda itu nyatanya bukan hanya membunuh mereka yang berseberangan, melainkan juga membunuh Ahmed, polisi yang beragama Islam—agama yang berusaha mereka bela. Gelombang simpatik terhadap Charlie Hebdo dimanfaatkan pihak penerbit dengan menampilkan lagi sebuah kartun yang mereka maksudkan sebagai nabi Muhammad. Isinya menyatakan bahwa semua hal terkait serangan Charlie Hebdo sudah dimaafkan. Namun tak sulit menebak bahwa perbuatan tersebut adalah usaha balas dendam, karena toh tetap menampilkan kartun nabi Muhammad, sebagai tokoh penting umat Islam. Sebuah tindakan yang kurang bijak, yang tentunya dapat memancing reaksi pihak ekstrimis dan membahayakan lebih banyak orang tidak bersalah. Dalam kasus ini, siapakah yang menjadi Koba? Al-Qaeda atau Charlie Hebdo?

Insiden Charlie Hebdo membuat Islam kembali terpojok. Terutama karena kejadian itu terjadi tak lama setelah insiden penyanderaan di Sydney yang juga dilakukan oleh pihak yang mengaku Islam. Benarkah serangan itu mewakili Islam? Menyatakan Kouachi bersaudara mewakili Islam, sama halnya dengan menyatakan Nathuram Godse mewakili Hindu saat Ia menembak Gandhi, atau Hernan Cortes mewakili Kristen saat pasukannya menyerbu Aztec. Sebuah pernyataan yang teledor dan menyesatkan.

Simpati yang mengiringi Charlie Hebdo juga dianggap sebagian orang sebagai bentuk kecacatan demokrasi dan kebencian Barat terhadap Islam. Hal yang sama patut kita tanyakan: benarkah Charlie Hebdo mewakili Barat? Atau benarkah demokrasi selalu anti Islam? Kebanggaan yang berlebihan terhadap simbol dan kelompok melahirkan stereotip—terhadap pihak lain—yang beranakcucukan prasangka yang memuluskan konflik.

Zaman informasi memang memudahkan penyebaran semangat dan ideologi, namun sayangnya tak lantas mampu memangkas kesesatan berpikir. Kemudahan mengakses informasi justru dipakai untuk mengumpulkan hal-hal yang hanya ingin kita baca dan dengar. Sebuah benteng  yang dibangun oleh kepingan-kepingan yang hanya identik dengan diri kita sendiri.

14220656761713063546



Di akhir film, Koba mati. Ironisnya, ia mati di tangan Caesar, sang Musa, pemimpin revolusi, yang membangun sendiri prinsip bahwa sesama kera tak boleh saling membunuh. Namun apakah Koba benar-benar mati? Sepertinya tidak.

Koba sejatinya bukanlah seekor kera, melainkan sebuah keadaan. Dimana dendam, kebencian, dan keputusasaan bersatu padu. Begitu pekat dan membutakan sehingga membuat seseorang hanya mampu melihat sisi buruk dari sesuatu. Koba tak bisa move on, apalagi memaafkan. Koba tak mampu melihat kebaikan dari pihak yang lain. Mungkin Koba ada padamu, mungkin juga ada padaku. Mungkin sekarang, mungkin nanti. Siapa yang tahu? Yang sebaiknya kita lakukan adalah saling menjaga dan tak lupa buka mata. Sebab bukankah semesta itu indah adanya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline