Adanya dua jalur penyaluran dana beasiswa Program Indonesia Pintar (PIP) untuk siswa/siswi, yaitu jalur sekolah melalui jalur Dapodik (data pokok peserta didik) dan jalur pemangku kepentingan yang diupayakan sejumlah anggota DPR RI membuat pusing sejumlah kepala sekolah di Kota Kupang. Kebingungan ini diperparah oleh adanya surat pemberitahuan penerima beasiswa PIP oleh rumah aspirasi tetapi tidak melalui jalur data base sekolah dan tidak sesuai dengan kriteria penerima yang ditentukan oleh pemerintah. Walaupun berdalih hanya memberikan informasi, namun tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan rumah aspirasi menerbitkan surat pemberitahuan penerimaan beasiswa PIP adalah sungguh mencederai integritas dan sistem tata kelola sekolah, serta merupakan wujud intervensi legislatif terhadap sekolah yang kebablasan. Syarat dan mekanisme penerima dana PIP yang telah ditetapkan dalam DAPODIK dengan memberi prioritas kepada keluarga tidak mampu, dan yang terancam putus sekolah karena kesulitan ekonomi menjadi mubasir dan dikangkangi oleh kepentingan politis sesaat dan tanpa dibarengi edukasi yang mendidik bagi publik. Dana yang wajib peruntukkannya untuk memperluas kesempatan masyarakat miskin dalam memperoleh pendidikan dan untuk meningkatkan Angka Partisipasi Sekolah (APS) pada akhirnya dipersepsikan menjadi alat tawar menawar (bargaining tool) orang tua terhadap rumah aspirasi dan memposisikan sekolah sebagai pihak yang menghambat proses penyaluran dengan dalih momentum Pemilihan Kepala Daerah. Sekolah yang seharusnya bersih dari kepentingan apapun, apalagi praktik politik, didesak oleh pemangku kepentingan untuk berpartisipasi dalam permainan politik praktis dan mengorbankan sistem tata kelola dan administrasi sekolah berbasis DAPODIK. Politik bukan lagi melindungi pendidikan, namun sebaliknya mendominasi, menghalalkan segala cara, dan mengorbankan netralitas pendidikan. Oleh karena itu, politisasi beasiswa PIP harus dipandang sebagai sebuah tindakan berbahaya (dangerously act) karena di dalamnya termuat unsur manipulatif baik secara finansial, struktural, dan sistematis yang mampu merusak nilai-nilai pendidikan, menggerogoti kekayaan negara, serta sekaligus menghancurkan masa depan generasi penerus bangsa.
Integritas Sekolah
Beasiswa PIP memiliki nilai jual dan posisi tawar yang tinggi dalam kacamata politik, khususnya menjelang pemilihan kepala daerah di Kota Kupang. Beasiswa ini, secara riil, menjadi media kampanye yang menggiurkan dalam pilkada, alat bantu pemenangan, dan wahana afiliasi berbagai kepentingan. Motif dan kepentingan politik lebih mendominasi, mengintervensi dan menghalalkan segala cara, serta menjadikan beasiswa PIP sebagai alat untuk mengangkat citra politik. Politisasi beasiswa ini dibuat dan dirancang dengan cara yang sedemikian rapinya dan berhasil mengorbankan integritas dan netralitas sekolah, serta mereduksi sistem tata kelola sekolah. Politisasi yang non edukatif ini memaksa "mengarahkan" sistem dan tata kelola sekolah untuk mendukung dan membenarkan dagelan politik yang dilakukan secara masif dan terbuka. Sekolah yang ada dalam masyarakat diposisikan sebagai alat kekuasaan dalam upaya membentuk sikap dan keyakinan politik yang dikehendaki. Bersekolah tidak lagi mempunyai muatan holistik (intelektual, spiritual, emosional) tapi lebih bermakna pencitraan, politis, komersil dan bahkan koruptif. Hal yang sangat memprihatinkan sekali karena mengabaikan prinsip integritas sekolah sebagai bangunan moralitas, akhlak, etika, estetika dan juga logika. Akibatnya, sistem dan tata kelola pendidikan di sekolah menjadi amburadul, kehilangan moralitas, dan kekritisan berpikir. Transformasi nilai dan perkembangan moral yang sejatinya adalah fondasi penting bagi hubungan sosial pelaku pendidikan dalam pengembangan sistem dan tata kelola sekolah pun betul-betul terabaikan.
Reevaluasi Regulasi Beasiswa
Masalah penyaluran beasiswa PIP kiranya perlu dievaluasi lebih mendalam agar kebijakan yang dihasilkan mulai dari proses, penetapan, dan implementasinya tidak sarat dengan nuansa kultur politis sehingga tidak menjadikan integritas sekolah sebagai tameng politisasi beasiswa dan tidak mengorbankan siswa. Pemerintah dan legislatif harus secara bijak duduk bersama-sama membentuk kerangka regulasi teknis yang bertujuan mengurai secara jelas pemberian beasiswa dalam penyelenggaraan pendidikan dalam upaya mengeliminasi politisasi beasiswa PIP dan menutup akses kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Regulasi ini harus dapat memproteksi program ini sehingga dapat mencapai sasaran dan tujuan yang diinginkan dan mengurangi adanya kebocoran anggaran, dan mengeliminir paradoks sistem yang ada. Dengan demikian akan terjadi peningkatan pemerataan dan perimbangan pembagian peran antara pemerintah dan legislatif dalam konsep alokasi beasiswa (termasuk komitmen bersama pengusulan dan penetapan penerima beasiswa), dan memberikan kesempatan yang sama bagi semua anak bangsa untuk mendapatkan beasiswa PIP dari berbagai golongan masyarakat yang berbeda baik secara politik, sosial, ekonomi, gender, lokasi tempat tinggal dan tingkat kemampuan intelektual. Dengan terbentuknya kerangka teknis yang sistematis dan terstruktur, pemerintah dan legislatif pada akhirnya dapat menjamin sekolah sebagai simpul pendidikan dalam suatu ekosistem pendidikan dan menempatkan sekolah sebagai sarana edukasi publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H