Pengadilan Agama adalah salah satu bagian dari peradilan di Indonesia, Pengadilan agama adalah tempat dimana dilakukannya penyelesaian perkara orang yang beragama Islam, di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah, sebagaimana diatur dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Perkara yang mungkin sering kita dengar di Pengadilan Agama adalah perkara perceraian dibanding perkara lainnya, dimana ada sebuah fakta unik berkaitan dengan kasus perceraian, bahwa kasus perceraian adalah kasus terbanyak yang di ajukan kepada pengadilan ahama.
Perceraian adalah peristiwa dimana sepasang suami dan isti memutuskan untuk saling berpisah. Baik itu secara gugatan maupun talak oleh suaminya, tetapi perceraian tak hanya berdampak terhadap suami atau istri, tetapi juga terhadap anak yang mereka miliki.
Hak anak pasca perceraian menjadi perhatian bagi kita, karena anak itu sendiri juga memiliki hak yang dilindungi oleh negara dalam hal ini pemerintah, pemerintah indonesia mengakui adanya hak anak melalui Undang-Undang tentang hak anak, yakni Convention on the Rights of the Child (CRC), konvensi tentang hak anak yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dalam KEPPRES No. 36 Tahun 1990.
Hak anak meliputi hak berhak untuk mengemukakan pendapat dan didengar, serta dipertimbangkan pendapatnya saat pengambilan keputusan yang akan berpengaruh pada kehidupannya, hak untuk mendapatkan iklim yang kondusif bagi tumbuh dan berkembang, hak anak untuk mendapat pengasuhan yang layak, dilindungi dari kekerasan, penganiayaan, dan pengabaian, dan hak kesehatan.
Hak -- hak anak tersebut harus di penuhi oleh orang tua mereka melalui negara, hal yang sering terjadi adalah pasca perceraian biasanya anak akan menjadi tangung jawab salah satu pihak, baik itu ayah atau ibu mereka, biasanya permasalahan yang muncul adalah berkaitan dengan hak asuh anak dan hak nafkah kepada anak atau ibunya.
Dalam pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa, "Dalam hal terjadinya perceraian, biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayahnya." Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 41 (b) menyebutkan bahwa, "Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah, Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu. Bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut."
Walau secara tertulis di sebutkan demikian, faktanya masih ad saja masalah, dimana suami tidak memberikan nafkah kepada anaknya walau sudah diputuskan oleh pengadilan, tak hanya soal nafkah, permasalahan juga muncul dalam hal hak asuh anak dimana dalam suatu putusan hak asuh anak di berikan kepada ibu sesuai dengan pasal 105 Kompilasi Hukum Islam huruf a dan b menyebutkan bahwa, "Dalam hal terjadinya perceraian: a) Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. b) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.". masih saja di temukan masalah dalam hal dimana kedua atau salah satu pihak bersikap egois dan terkesan paling memiliki hak atas anak tersebut walau sudah ada aturannya, dimana hak anak untuk memilih ingin diasuh oleah siapa saat sudah berumur 12 tahun sering kali tidak di anggap atau paradigma masyarakat adalah bahwa anak kecil belum bisa berpikir dan memilih akan keinginannya sendiri, sehingga paradigma tersebut menyebabkan sering kali hak anak diabaikan oleh pengadilan dan orangtuanya.
Sebenarnya permasalahan ini dapat diatasi dengan baik bila dalam pengajuan gugatan perceraian juga mengajukan gugatan hak asuh anak dan nafkah, sebenarnya gugatan perceraian dan anak dapat diajukan secara bersamaan, dan juga dapat diajukan secara terpisah, hal ini kembali lagi kepada pihak yang bersangkutan.
Bilamana dalam pengajuan gugatan hak atas anak di kabulkan oleh pengadilan, maka ayah atau ibu yang menerima hak atas anak tersebut memiliki kewajiban untuk memenuhi hak anak tersebut, dan sama halnya dalam hal nafkah anak bilamana pengadilan memutuskan bahwa si suami harus memberikan nafkah maka menjadi kewajibannya untuk melakukan itu.
Walau sudah ada putusan pengadilan masih saja ditemukan permasalahan dalam eksekusinya, hal ini dikarenakan rendahnya kesadaran masyarakat dalam memahami hukun, dan pemenuhan hak anak tersebut, sering kali orang tua mereka tidak peduli akan anak mereka dan menjadikan putusan pengadilan menjadi seperti harimau tanpa gigi, yang artinya putusan tersebut hanya sebuah keputusan tanpa eksekusi. Yang mana eksekusi tersebut haruslah dilakukan oleh pihak yang di tunjuk dalam putusan tersebut.