Dari dalam dapur berukuran 2 x 3 meter inilah Ibu Rosario Lamabelawa (38 tahun) memulai aktivitas hariannya. Dapur berukuran kecil ini berfungsi sebagai tempat memasak sehari-hari, juga tempat untuk membuat "Jagung Titi". Hampir setiap hari ia meniti jagung (menumbuk butiran jagung menjadi pipih seperti kripik).
Seperti umumnya masyarakat di Desa Adobala Kecamatan Kelubagolit Kabupaten Flotim NTT, Ibu Ros menggunakan peralatan yang sangat sederhana yaitu, periuk tanah kecil untuk menyangrai butiran jagung, batu ceper sebgai landasan untuk meniti dan batu berbentuk lonjong yang berfungsi sebagai penumbuk (titi).
Untuk membuat jagung titi biasanya dilakukan pada subuh sampai menjelang pagi. Kegiatan ini dilakukan Ibu Ros sebelum ke kebun. Ketika disambangi media (Sabtu, 08/02/2020) di kediamannya di Dusun II Desa Adobala, Ibu Ros Marten begitu sapaannya menjelaskan proses pembuatan jagung titi (wata kenae) dimulai dengan; butiran-butiran jagung pipilan disangrai di dalam periuk tanah.
Cukup menggunakan kayu bakar yang sedikit saja, agar jagung titi tidak cepat gosong. Setelah berwarna agak kekuningan atau sekitar 3 menit disangrai.
Bila periuk tanah tadi terdengar berbunyi"kletek-kletek-kletek" itu tandanya jagung sudah siap untuk dititi, 3 sampai 4 butir jagung diambil langsung dari periuk dengan menggunakan tangan tanpa alas, lalu diletakan di atas batu landasan, butiran jagung tadi ditumbuk (dititi) menggunakan batu lonjong seberat lebih kurang 2 kg. diperlukan ketepatan waktu antara meletakan butiran jagung dan menarik telapak tangan agar tidak terpukul. Dengan sekali titi saja, sudah jadilah 'Jagung Titi"
Martinus Kopong Doken, Suami Ibu Ros menambahkan,"Bahan jagung titi (wata kenae) diambil dari hasil panen kami sendiri, biasanya yang paling enak berasal dari Jagung Pulut (wata pulut), sedangkan agar proses menitinya lebih muda, digunakan jagung yang tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua".
Jagung Titi (wata kenae) ini tidak hanya untuk dikonsumsi sendiri, tetapi juga untuk dijual sebagai penambah penghasilan keluarga. Tidak sulit untuk memasarkan Jagung Titi ini, setidaknya itu diungkapkan oleh Martinus Kopong Doken (Suami Ibu Ros). " Satu toplex dihargai Rp. 10.000,-.
Kepada media, Ibu Ros yang juga anggota PKK desa Adobala mengajak masyarakat Desa Adobala untuk melestarikan pangan lokal, karena pangan utama kita sebenarnya bukanlah " Beras (waha)" tetapi Jagung (wata)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H