Lihat ke Halaman Asli

Fransiska Angelina Faot

Mahasiswa Universitas Airlangga

Stop Bullying, Tanamkan Pendidikan Moral Sejak Dini!

Diperbarui: 4 Oktober 2024   17:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

No one deserves to be treated with cruelty! Sebagai generasi muda penerus bangsa, tentu sudah tidak asing lagi dengan istilah bullying atau perundungan. Menurut Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA), bullying adalah penindasan atau risak (merunduk) yang dilakukan secara sengaja oleh satu orang atau sekelompok yang lebih kuat. Perilaku bullying telah menjadi masalah yang serius di kalangan masyarakat, terutama anak -- anak. Banyaknya kasus bullying yang terjadi di Indonesia bukan hanya peristiwa yang mengkhawatirkan tetapi juga mencerminkan adanya krisis moral yang mempengaruhi kualitas dan karakter generasi penerus bangsa.

Secara umum tindakan bullying atau perundungan ini ada dua bentuk, yaitu bullying verbal berupa tindakan menghina, mencaci dan mengancam dengan kata-kata yang dapat melukai perasaan korban dan bullying fisik berupa tindakan kekerasan atau perilaku menganiaya korban secara fisik. Sebagian besar anak -- anak dalam usia sekolah dasar paling rentan terkena bullying di lingkungan sekolah, bahkan tidak sedikit dari korban bullying merasa takut pergi ke sekolah dan memilih untuk membolos karena merasa tertekan dan trauma. Anak- anak seringkali merasa takut dan malu untuk menceritakan apa yang telah dialaminya kepada orang tua, karena tekanan yang dialami membuat mereka merasa bahwa hal yang menimpanya adalah kesalahannya sendiri. Jika hal ini terus berlanjut maka akan menimbulkan dampak lain yang lebih parah sebagai akibat dari bullying yaitu cacat fisik karena kekerasan yang dialami, depresi atau gangguan mental hingga kematian.

Salah satu contoh kasus bullying yang terjadi pada tanggal 7 Agustus 2023 di Kabupaten Gresik, Jawa Timur menimpa seorang anak berusia 8 tahun atau kelas 2 SD. Peristiwa ini terasa begitu memilukan karena anak berinisial SAH dinyatakan buta permanen, diduga adanya bullying yang dilakukan kakak kelas korban dengan mencolok mata korban menggunakan tusukan cilok. Pelaku melakukan tindakan ini dilandasi rasa kesal dan emosi, karena korban menolak ketika dipalak atau diminta memberi uang secara paksa oleh pelaku. Berdasarkan pemaparan dari orang tua korban, anak berinisial SAH ini mengalami trauma hingga enggan untuk masuk sekolah. Peristiwa bullying yang dialaminya membawa dampak yang begitu besar bagi kehidupan korban, selain cacat fisik yang dialami, tentu secara mental psikologis korban tidak baik-baik saja.

Dari peristiwa ini, dapat kita cermati bahwa penting untuk menanamkan pendidikan moral karakter pada anak usia dini. Pada usia 4 -- 9 tahun, anak mulai mengenal baik atau buruknya sesuatu yang dilakukan, tidak hanya pendidikan di sekolah tetapi peran orang tua juga sangat besar dalam mengembangkan karakter yang baik bagi anak. Perkembangan moral anak banyak dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal, terutama perilaku orang tuanya. Anak usia dini sangat mudah menyerap informasi secara mentah -- mentah sesuai apa yang dilihatnya, disinilah peran orang tua diperlukan. ibat pertengkaran kecil dengan temannya, terkadang secara tidak sadar para orang tua langsung membelaApakah peran orang tua sudah maksimal dalam menanamkan nilai -- nilai moral pada anak ? kenyataannya masih banyak orang tua belum maksimal dalam menanamkan nilai moral pada anaknya. Sebagai contoh ketika anak -- anak terl anaknya dengan memarahi anak yang terlibat pertengkaran dengan sang anak tanpa melakukan identifikasi lebih lanjut apa sebenarnya penyebab pertengkaran yang terjadi. Hal -- hal kecil ini dapat berpengaruh pada perkembangan moral anak, karena mereka cenderung merasa dibela apapun hal yang dilakukan entah itu baik atau buruk. Selain itu, perilaku seperti ini akan menumbuhkan sikap acuh tak acuh, tidak memiliki rasa empati terhadap sesama dan hilangnya rasa tanggung jawab serta menumbuhkan sikap semena -- mena.

            Dalam hal ini, perlu adanya kolaborasi antara sekolah dan orang tua untuk mengembangkan moral karakter pada anak. Di sekolah guru berperan sebagai tenaga pengajar dan fasilitator pembelajaran yang dapat menginsipirasi dan membimbing siswa-siswinya. Seperti dalam filosofi Bahasa Jawa, guru memiliki singkatan digugu lan ditiru yang berarti seorang yang dapat dipercaya dan ditiru. Setiap perbuatan dan perkataannya harus bisa dipertanggung jawabkan, karena jika perilaku guru kurang baik maka akan berpotensi besar ditiru oleh muridnya. Kemudian dalam mengembangkan moral karakter anak, orang tua juga berperan dalam hal mendukung perkembangan akademis, mendorong minat dan bakat anak serta menciptakan lingkungan belajar di rumah yang nyaman dan harmonis sehingga anak lebih dapat mengekspresikan emosi dan lebih peka terhadap lingkungan sekitarnya.

            Kolaborasi antara guru dan orang tua akan menciptakan lingkungan belajar yang nyaman sehingga perkembangan moral pada anak juga terbentuk dengan baik. Melalui komunikasi dan kerjasama yang terbuka dapat memberikan dukungan yang konsisten pada anak serta memastikan bahwa nilai -- nilai positif dalam pembelajaran juga diperkuat di lingkungan keluarga. Jadi, kolaborasi antara guru dan orang tua adalah kunci dalam mengembangkan moral karakter anak sehingga terbentuk rasa empati dan peka terhadap lingkungan sekitar. Hal ini juga akan menciptakan generasi penerus bangsa yang tidak hanya cerdas tetapi juga berkarakter.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline