Malioboro merupakan salah satu daya tarik utama wisata kota Jogja. Di sini terdapat banyak sekali pedagang kaki lima dengan segala dagangannya. Mulai dari pedagang makanan hingga pedagang souvenir yang terdapat di sepanjang jalan Malioboro. Kekhasan kota Jogja terlihat jelas pada daerah ini, Malioboro menawarkan berbagai jenis keanekaragaman budaya khas kota gudeg ini. Salah satunya terdapat kendaraan tradisional yang menjadi favorit pengunjung yaitu andong dan becak. Andong adalah kendaraan tradisional yang dijalankan oleh kuda dan dikendalikan oleh pak kusir. Sedangkan becak adalah kendaraan roda tiga seperti sepeda yang dikendalikan oleh tukang becak.
Di kawasan Malioboro terdapat banyak becak yang berjejer di pinggir jalan menunggu penumpang. Dengan berbagai cara para tukang becak merayu para pengunjung untuk mau menaiki becak mereka. “Becak mas..becak..Malioboro-Kraton Rp 15 ribu, atau Kraton-Dagadu” begitulah ucap salah satu tukang becak dengan nada yang keras sembari mendekati para pengunjung yang lewat didepan mereka. Terkadang para tukang becak ini saling berebut penumpang demi mendapatkan sekeping uang untuk biaya hidup mereka.
Namun, hal ini tidak terlihat pada Pak Arifin (58) yang hanya duduk santai diatas becaknya sembari mendengarkan radio kuno miliknya. Radio berwarna hitam kusam ini selalu menemaninya dikala ia tidak menarik becak. “Yang namanya rejeki sudah ada yang ngatur mas, saya juga capek jika harus berdiri terus untuk menawarkan becak ini kepada para . Alhamdulillah hari ini saya sudah dua kali narik mas, sekarang istirahat dulu,” ujar lelaki yang sudah tiga puluh dua tahun berprofesi sebagai tukang becak ini.
Setiap harinya, Pak Arifin yang akrab dipanggil simbah dikalangan para tukang becak Malioboro ini selalu bersemangat untuk menarik becaknya meski pendapatannya tidak menentu. “ Biasanya saya dapat Rp 25-30 ribu per hari. Itu sudah sangat bersyukur mas. Tapi sering juga sehari tidak dapat uang sama sekali. Nah jika tidak dapat uang biasanya saya utang buat makan mas,” ungkap pria berkulit sawo matang dengan kacamata tebal menghiasi wajahnya. Ia juga mengatakan sebelum tahun 2000, ia pernah dalam sehari mendapatkan penghasilan Rp 1.250.000,-. “ Ini komisi mas jika narik turis asing, komisi ini saya dapat dari turis jika menemani belanja. Semakin banyak barang belanjaan mereka, biasanya semakin banyak juga komisi saya mas. Tapi itu dulu, sekarang susah mas dapat segitu, mustahil juga,” cerita lelaki yang hanya tamatan sekolah dasar tersebut.
Dengan penghasilan tak menentu ini, biasanya pria tua yang masih lajang ini pulang sebulan sekali kerumahnya di kampung Wojo kelurahan Bangunharjo, Sewon Bantul. “ Biasanya setiap pulang saya kasih uang ini ke ibu saya, karena sudah tua ibu saya tidak bekerja jadi dengan uang seadanya saya menghidupi ibu saya ini,” ujarnya. Dalam menjalani pekerjaannya sebagai tukang becak, pria yang lupa akan tanggal lahirnya ini selalu berusaha menarik becak sekuat mungkin. “ Pagi sampai malam mas, kadang tidak tidur jika pengunjung ramai. Tidurnya pun saya hanya di becak saya ini mas, biasanya di emperan toko Malioboro atau di depan kantor PLN Mangkubumi, “ ujar pria yang pernah yang pernah menjadi juragan sepeda motor di pasar Pakualaman pada tahun 1980-an.
Sebelum bekerja sebagai tukang becak, pria yang tidak memiliki anak dan istri ini bekerja sebagai penjual sembako di kampungnya. “ Saya pernah berjualan sembako mas, jadi makelar motor hingga mampu memiliki kios sendiri di pasar Pakualaman. Tapi usaha ini bangkrut pada tahun 1990-an mas, jadinya ya saya beralih profesi sebagai tukang becak ini mas, ya mau usaha apalagi saya hanya lulusan sekolah dasar,” ungkap pria bertubuh tinggi dan kurus ini.
Pengalamannya sebagai tukang tukang becak sudah sangat banyak, termasuk membawa turis asing meski ia tidak bisa berbahasa asing. “ Ya, jika narik turis biasanya saya menggunakan bahasa-bahasa tertentu yang ia dan turis itu mengerti. Yang penting kan saya mengerti maksud dari turis tersebut dan begitu pula sebaliknya,” tutur pak Arifin yang setiap dua tahun sekali membayar pajak becaknya sebesar Rp 1000-2000 per tahun.
Pria yang tidak bisa lepas dari rokok ini, mempunyai harapan di hari tuanya hanya ingin bisa hidup sehat dan panjang umur agar ia bisa terus mendapat rejeki untuk menghidupi dirinya dan ibunya. “ Ya harapan saya hanya ingin hidup sehat dan selamat mas, juga panjang umur agar saya dapat menghidupi ibu saya, karena ibu saya yang saat ini saya miliki mas. Saya yakin dengan usaha yang kuat, rejeki itu akan datang dan rejeki juga sudah diatur sama yang diatas,” ungkap pria yang sehari selalu menghabiskan satu bungkus rokok ini.
Hal senada juga diungkapkan oleh Suyono seorang bapak asal Bantul berusia 58 tahun yang berprofesi sebagai tukang becak, memiliki perawakan tinggi, kurus, dan berkulit sawo matang. Pak Suyono sudah lebih dari 25 tahun malang melintang mengadu nasib menjadi penarik becak. Penghasilan minim sekitar Rp. 50,000,- per hari mampu menyekolahkan kedua anaknya. Salah seorang anaknya yang paling tua mampu menembus jenjang pendidikan S2 dan bekerja sebagai guru disalah satu sekolah kejuruan di Bantul.
Pak Suyono yang ditemui disela-sela kesibukannya ini tergolong orang yang sangat tabah dan ikhlas, hal ini terbukti dari pengakuannya, “Biarpun terkena bencana gempa tahun 2006 tetap berserah kepada Tuhan dan menyerahkan nasib keluarga pada yang maha kuasa”. Ketabahannya membuahkan hasil rumah dari Perancis. Pak Suyono merupakan salah satu orang yang beruntung mendapatkan salah satu bantuan rumah.
Pak Suyono sangat menyayangi keluarganya, hal ini terbukti dengan usaha kerasnya bekerja dari jam 9 pagi sampai jam 10 malam. Bermodalkan becak sewaan berharga Rp. 3,000,- per hari pak Suyono berharap-harap cemas menunggu penumpang untuk mendapatkan sesuap nasi bagi keluarganya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H