Kekerasan dalam keluarga atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukan sekadar konflik domestik yang bisa diselesaikan dengan kompromi. Ini adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang berdampak luas, tidak hanya pada korban secara individu, tetapi juga pada stabilitas sosial dan generasi mendatang. Sayangnya, meskipun berbagai regulasi dan program telah dicanangkan untuk menangani masalah ini, kekerasan dalam keluarga masih menjadi fenomena yang terus menghantui banyak rumah tangga di Indonesia.
Beberapa korban memilih diam karena takut, malu, atau bahkan karena tidak menyadari bahwa mereka sedang menjadi korban. Ada pula yang terjebak dalam siklus kekerasan karena ketergantungan ekonomi, tekanan sosial, atau kurangnya akses terhadap perlindungan hukum. Inilah yang membuat kekerasan dalam keluarga menjadi isu yang kompleks dan memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif dalam penanganannya.
Penting untuk memahami bagaimana negara hadir dalam memberikan perlindungan bagi korban, bagaimana hukum ditegakkan terhadap pelaku, serta tantangan yang masih dihadapi dalam implementasi kebijakan yang ada. Lebih dari itu, upaya pencegahan dan edukasi juga menjadi kunci dalam mengakhiri lingkaran kekerasan ini.
Kekerasan dalam Keluarga Masalah Struktural yang Berkepanjangan
Dalam banyak kasus, kekerasan dalam keluarga tidak terjadi secara tiba-tiba. Ia sering kali merupakan hasil dari berbagai faktor struktural, seperti norma budaya patriarki, ketimpangan gender, dan kurangnya literasi hukum di kalangan masyarakat. Banyak orang masih menganggap bahwa apa yang terjadi di dalam rumah tangga adalah urusan pribadi yang tidak boleh dicampuri pihak luar.
Padahal, dampak KDRT tidak hanya dirasakan oleh individu korban, tetapi juga oleh anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh kekerasan. Studi menunjukkan bahwa anak-anak yang menyaksikan kekerasan dalam keluarga berisiko lebih tinggi mengalami gangguan psikologis, kesulitan akademik, bahkan cenderung mengulang pola kekerasan tersebut dalam hubungan mereka di masa depan.
Tak hanya itu, dampak ekonomi juga sangat nyata. Banyak korban KDRT yang kehilangan pekerjaan atau mengalami keterbatasan dalam mencari nafkah karena trauma atau kontrol yang dilakukan oleh pelaku. Ini menambah beban bagi negara, baik dalam bentuk biaya perawatan kesehatan, rehabilitasi sosial, maupun intervensi hukum yang diperlukan untuk menangani kasus-kasus ini.
Jaminan Hukum
Di Indonesia, perlindungan hukum bagi korban kekerasan dalam keluarga diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Undang-undang ini mengakui bahwa kekerasan dalam rumah tangga bukan sekadar masalah domestik, tetapi juga masalah hukum yang harus mendapat perhatian serius dari negara.
Dalam UU PKDRT, kekerasan dalam keluarga dikategorikan ke dalam empat bentuk, yakni kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Setiap kategori ini memiliki konsekuensi hukum yang berbeda, dengan ancaman pidana yang bervariasi tergantung pada tingkat keparahannya.