Lihat ke Halaman Asli

Frans Leonardi

TERVERIFIKASI

Freelace Writer

Dear Milenial, Mari Membangun Pertanian di Pekarangan Rumah

Diperbarui: 30 Januari 2025   14:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi berkebun, menanam sayuran di rumah. (SHUTTERSTOCK/ODUA IMAGES)

Di tengah pesatnya urbanisasi dan perubahan gaya hidup modern, pertanian kerap dianggap sebagai sektor yang tertinggal dan kurang menarik bagi generasi muda. Padahal, justru di era inilah pertanian membutuhkan sentuhan inovasi dan pemikiran kreatif agar tetap relevan dan mampu menghadapi tantangan zaman. Salah satu solusi yang kini semakin mendapat perhatian adalah pertanian milenial di pekarangan rumah sebuah konsep yang tidak hanya memberikan manfaat bagi individu, tetapi juga berdampak besar pada ketahanan pangan dan keberlanjutan lingkungan.

Bayangkan jika setiap rumah memiliki kebun kecil yang menghasilkan sayur, buah, atau rempah-rempah segar. Bukan hanya mengurangi ketergantungan pada pasar tradisional dan supermarket, tetapi juga mendorong pola hidup yang lebih sehat dan berkelanjutan. Namun, mengapa konsep ini belum begitu masif diadopsi oleh generasi milenial? Apa saja tantangan dan peluangnya?

Paradoks Generasi Milenial dan Sektor Pertanian

Generasi milenial dikenal sebagai kelompok yang melek teknologi, inovatif, dan memiliki ketertarikan tinggi terhadap gaya hidup sehat. Namun, ironisnya, keterlibatan mereka dalam sektor pertanian masih tergolong minim. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah petani muda di Indonesia terus menurun, sementara mayoritas petani saat ini berusia di atas 45 tahun. Jika tren ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin sektor pertanian akan mengalami krisis regenerasi.

Di sisi lain, milenial juga menghadapi berbagai tantangan dalam bertani, terutama dalam konteks perkotaan. Keterbatasan lahan, kurangnya pengetahuan praktis, serta anggapan bahwa pertanian tidak menguntungkan menjadi faktor utama yang membuat mereka ragu untuk terjun ke bidang ini. Namun, dengan perkembangan teknologi dan konsep urban farming yang semakin maju, bertani di rumah bukan lagi sekadar impian.

Menjawab Tantangan dengan Inovasi Pertanian di Pekarangan Rumah

Kamu mungkin bertanya, bagaimana mungkin bertani di pekarangan rumah dapat menjadi solusi di tengah keterbatasan ruang dan waktu? Kuncinya terletak pada pendekatan inovatif yang menyesuaikan metode pertanian dengan kondisi lingkungan perkotaan. Salah satu contohnya adalah hidroponik, metode bercocok tanam tanpa tanah yang hanya menggunakan air dan nutrisi. Teknik ini sangat cocok untuk milenial yang tinggal di kawasan padat penduduk atau apartemen dengan ruang terbatas.

Selain hidroponik, ada juga aquaponik, sistem yang mengombinasikan budidaya ikan dengan pertanian sayur dalam satu ekosistem tertutup. Metode ini tidak hanya efisien dalam penggunaan air, tetapi juga menghasilkan dua produk sekaligus: ikan dan sayuran organik. Di berbagai negara maju, aquaponik telah diterapkan secara luas sebagai solusi pertanian berkelanjutan di perkotaan.

Konsep vertical farming juga menjadi alternatif menarik, di mana tanaman ditanam secara bertingkat untuk mengoptimalkan ruang vertikal. Teknik ini banyak diterapkan di kota-kota besar seperti Singapura dan Jepang, yang memiliki lahan terbatas namun tetap ingin menjaga ketahanan pangan mereka. Dengan menggunakan rak bertingkat dan sistem pencahayaan buatan, pertanian tidak lagi bergantung pada lahan luas seperti metode konvensional.

Namun, inovasi saja tidak cukup jika tidak diimbangi dengan edukasi dan perubahan mindset. Banyak orang masih berpikir bahwa bertani adalah pekerjaan yang kotor dan melelahkan, padahal dengan pendekatan yang tepat, pertanian justru bisa menjadi gaya hidup modern yang menyenangkan dan menguntungkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline