Lihat ke Halaman Asli

Frans Leonardi

TERVERIFIKASI

Freelace Writer

Nostalgia Bersama Manisnya Kue Cenil

Diperbarui: 26 Januari 2025   12:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi cenil, jajanan tradisional terbuat dari tepung singkong. (SHUTTERSTOCK/IKA RAHMA H)

Banyak dari kita yang tanpa sadar tersenyum ketika mencium aroma kelapa parut yang baru dikukus, atau ketika melihat jajanan pasar berwarna-warni yang tertata rapi di atas daun pisang. Salah satu kudapan yang sering menjadi pusat perhatian dalam suasana semacam ini adalah kue cenil. Kenyal, manis, dan gurih, cenil tidak hanya memanjakan lidah, tetapi juga membangkitkan kenangan masa kecil yang melekat erat dalam ingatan.

Kue cenil adalah contoh nyata bagaimana makanan bisa menjadi media untuk menyimpan cerita dan emosi. Lebih dari sekadar kudapan tradisional, cenil adalah simbol kehangatan keluarga, tradisi masyarakat, dan rasa syukur atas keberkahan alam. Namun, pernahkah kamu bertanya-tanya, apa sebenarnya yang membuat cenil begitu spesial? Mengapa makanan sederhana ini tetap dicintai hingga kini? Artikel ini akan mengupas sejarah, makna budaya, hingga relevansi cenil dalam kehidupan modern, membawa kamu menyelami lebih dalam cerita di balik kelezatannya.

Kue Cenil Kesederhanaan yang Berakar Kuat pada Tradisi

Berbicara tentang cenil berarti berbicara tentang Indonesia sebuah negara yang kaya akan tradisi dan budaya kuliner. Cenil, yang biasanya dibuat dari tepung kanji atau sagu, menjadi salah satu perwujudan kreativitas masyarakat agraris dalam mengolah bahan pangan lokal. Tepung kanji, bahan dasar cenil, berasal dari ekstraksi pati singkong yang banyak ditemukan di berbagai daerah.

Dalam konteks sejarah, cenil sering menjadi simbol makanan rakyat yang identik dengan kesederhanaan. Pada masa lalu, ketika sumber daya terbatas dan ekonomi masyarakat didominasi oleh pertanian, kue seperti cenil menjadi pilihan yang terjangkau namun tetap bergizi. Penggunaan kelapa parut dan gula merah sebagai pelengkap cenil menunjukkan bagaimana bahan-bahan sederhana mampu menciptakan rasa yang harmonis dan khas.

Cenil juga memiliki makna simbolis dalam beberapa tradisi masyarakat Jawa. Dalam acara tertentu, cenil sering disajikan sebagai bagian dari tumpeng atau hidangan syukuran, melambangkan ikatan kekeluargaan dan kebersamaan. Warna-warni cenil yang ceria dianggap merepresentasikan kebahagiaan, harapan, dan keberagaman yang selaras dengan falsafah hidup orang Jawa.

Rasa Manis yang Membawa Kenangan

Ketika pertama kali menggigit cenil, sensasi kenyal yang berpadu dengan rasa manis gula merah dan gurih kelapa parut seolah membawa kamu kembali ke masa kecil. Bagi sebagian orang, cenil adalah makanan yang mengingatkan mereka pada masa-masa sederhana, ketika bermain di halaman rumah sambil menikmati jajanan pasar yang dibeli dari pedagang keliling.

Nostalgia semacam ini bukan tanpa alasan. Menurut studi psikologi makanan, aroma dan rasa memiliki kaitan kuat dengan ingatan. Dalam konteks kue cenil, perpaduan aroma kelapa parut dan rasa gula merah yang khas mampu memicu memori emosional yang menyenangkan. Hal ini menjelaskan mengapa banyak orang merasa begitu terhubung dengan makanan tradisional seperti cenil, meskipun sudah bertahun-tahun berlalu sejak terakhir kali mereka mencicipinya.

Namun, bukan hanya nostalgia yang membuat cenil istimewa. Dalam hal rasa, cenil menawarkan pengalaman yang unik. Kenyalnya tepung kanji memberikan tekstur yang berbeda dibandingkan dengan kue tradisional lainnya. Gula merah cair yang disiramkan di atasnya memberikan rasa manis yang tidak berlebihan, sementara kelapa parut segar menambah dimensi gurih yang melengkapi keseluruhan rasa. Kombinasi ini menjadikan cenil sebagai makanan yang sederhana tetapi kaya rasa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline