Lihat ke Halaman Asli

Frans Leonardi

TERVERIFIKASI

Freelace Writer

Pengangguran di Usia Produktif Tantangan Besar bagi Masa Depan Indonesia

Diperbarui: 24 Januari 2025   19:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi pengangguran, kehilangan pekerjaan, angka pengangguran. (SHUTTERSTOCK/LUNA VANDOORNE)

Indonesia, sebagai negara dengan populasi besar dan kekayaan sumber daya manusia yang melimpah, menghadapi tantangan pelik yang kian sulit diatasi: pengangguran di usia produktif. Masalah ini tidak hanya menjadi isu ekonomi, tetapi juga merambat ke ranah sosial, politik, hingga budaya. Generasi yang seharusnya menjadi motor penggerak kemajuan bangsa justru terjebak dalam lingkaran pengangguran yang kompleks dan berlapis. Dalam artikel ini, kita akan menggali lebih dalam akar permasalahan, dampak nyata yang dirasakan masyarakat, serta langkah-langkah strategis untuk keluar dari situasi ini.

Sebuah Dilema di Tengah Bonus Demografi

Indonesia saat ini berada di tengah periode bonus demografi, di mana jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) mencapai puncaknya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk usia produktif di Indonesia pada 2023 mencapai lebih dari 190 juta orang. Secara teori, situasi ini memberikan peluang besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produktivitas. Namun, kenyataan di lapangan berbicara sebaliknya: tingginya angka pengangguran di kelompok usia produktif justru menjadi ancaman nyata yang merugikan.

Mengapa fenomena ini begitu kompleks? Sebab masalah pengangguran tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal seperti tingkat pendidikan atau keterampilan, tetapi juga oleh dinamika eksternal, seperti perubahan struktur ekonomi global dan kebijakan domestik yang sering kali tidak tepat sasaran.

Akar Permasalahan yang Berlapis

Pengangguran di usia produktif di Indonesia adalah hasil dari berbagai faktor yang saling terkait. Salah satu faktor utama adalah ketidaksesuaian antara pendidikan dan kebutuhan pasar kerja. Sistem pendidikan nasional cenderung fokus pada teori daripada praktik, sehingga lulusan sekolah dan perguruan tinggi sering kali tidak siap menghadapi dunia kerja yang menuntut keterampilan spesifik. Misalnya, banyak lulusan yang ahli di bidang akademik tetapi kurang memahami aplikasi praktisnya dalam dunia industri.

Selain itu, pertumbuhan lapangan kerja yang stagnan juga menjadi hambatan besar. Meskipun ekonomi Indonesia terus tumbuh, sektor-sektor yang mampu menyerap banyak tenaga kerja, seperti manufaktur dan agrikultur, menghadapi tantangan besar akibat digitalisasi dan otomatisasi. Teknologi canggih memang meningkatkan efisiensi, tetapi di sisi lain mengurangi kebutuhan tenaga kerja manual. Akibatnya, banyak pekerja yang sebelumnya bergantung pada pekerjaan tradisional kehilangan sumber penghasilan mereka.

Tidak hanya itu, keterbatasan akses terhadap pelatihan kerja dan modal juga memperburuk situasi. Banyak masyarakat di daerah terpencil tidak memiliki fasilitas pelatihan kerja yang memadai, sehingga sulit bagi mereka untuk mengembangkan keterampilan baru yang relevan dengan kebutuhan pasar. Hal ini diperparah oleh minimnya dukungan pemerintah terhadap wirausaha lokal, yang seharusnya menjadi solusi untuk menciptakan lapangan kerja baru.

Dampak Sosial dan Ekonomi yang Mengkhawatirkan

Pengangguran di usia produktif tidak hanya merugikan individu yang mengalaminya, tetapi juga memberikan dampak domino yang luas bagi masyarakat dan negara. Secara ekonomi, pengangguran meningkatkan beban sosial yang harus ditanggung pemerintah. Program bantuan sosial seperti subsidi pangan atau bantuan tunai menjadi pengeluaran besar yang menyedot anggaran negara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline