Sejak dilantik, duet pemimpin Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menjadi sorotan publik. Dengan latar belakang yang kontras Prabowo sebagai figur senior politik dan Gibran sebagai sosok muda dengan pengalaman di tingkat lokal kombinasi ini diharapkan mampu membawa Indonesia menuju arah yang lebih progresif. Namun, setelah 100 hari kepemimpinan, banyak pihak bertanya-tanya: apakah mereka telah berhasil menjawab ekspektasi masyarakat?
Pada tahap awal pemerintahannya, Prabowo-Gibran menghadapi tantangan besar. Dunia tengah berjuang melawan ancaman resesi global, krisis energi, serta dampak perubahan iklim yang semakin parah. Di sisi lain, di dalam negeri, masyarakat menunggu realisasi dari berbagai janji kampanye yang digulirkan. Meski begitu, berbagai persoalan krusial seperti ekonomi, infrastruktur, dan ketimpangan sosial masih menjadi pekerjaan rumah yang tampaknya belum tersentuh secara signifikan.
Publik yang Menanti Kepastian
Sebelum menjabat, Prabowo Gibran memaparkan visi besar untuk Indonesia. Mereka berkomitmen memperkuat ekonomi kerakyatan, mengoptimalkan pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal, serta memberikan ruang yang lebih besar bagi inovasi teknologi. Namun, hingga saat ini, realisasi janji-janji tersebut masih jauh dari harapan.
Contohnya, salah satu janji yang disorot adalah penguatan sektor pertanian. Sebagai tulang punggung perekonomian sebagian besar wilayah Indonesia, sektor ini sering kali menjadi prioritas dalam kampanye politik. Namun, para petani mengeluhkan masih minimnya subsidi pupuk, kurangnya akses terhadap teknologi modern, dan ketidakpastian harga hasil panen. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa kontribusi sektor pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) cenderung stagnan selama tiga tahun terakhir. Ini menjadi alarm bahwa program revitalisasi sektor ini perlu ditingkatkan dengan langkah konkret.
Kondisi Ekonomi yang Membebani
Kondisi ekonomi nasional yang kurang stabil menjadi tantangan utama bagi pemerintahan baru ini. Inflasi yang tinggi, terutama di sektor pangan, menyebabkan harga kebutuhan pokok melonjak. Masyarakat menengah ke bawah menjadi kelompok yang paling terdampak. Misalnya, kenaikan harga beras mencapai 15% selama kuartal terakhir tahun lalu, sementara daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih pasca pandemi.
Pemerintah memang telah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mengatasi inflasi, seperti distribusi bantuan sosial dan operasi pasar untuk menjaga stabilitas harga pangan. Namun, dampaknya belum terasa signifikan di lapangan. Banyak yang menilai bahwa koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah perlu diperkuat agar kebijakan tersebut dapat lebih tepat sasaran.
Selain itu, program pemberdayaan UMKM yang dijanjikan selama kampanye juga belum menunjukkan hasil yang nyata. Padahal, sektor ini menyerap hampir 97% tenaga kerja di Indonesia dan berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Pelaku UMKM masih menghadapi tantangan klasik seperti sulitnya akses permodalan, pemasaran, dan digitalisasi. Pemerintah perlu segera menghadirkan solusi yang terukur dan mendukung keberlanjutan sektor ini.
Infrastruktur Masih Berpusat di Kota Besar