Lihat ke Halaman Asli

Frans Leonardi

TERVERIFIKASI

Freelace Writer

Kebiasaan Ngaret Masyarakat Kita, Budaya yang Perlu Diubah

Diperbarui: 17 Desember 2024   20:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Ngaret.Pixabay.com/

Pernahkah kamu datang ke sebuah acara tepat waktu, tetapi ruangan masih kosong, dan panitia sibuk mempersiapkan segalanya? Atau pernahkah kamu menunggu teman yang berjanji datang pukul tujuh, namun baru muncul satu jam kemudian dengan senyum minta maaf? Jika ya, maka kamu tidak sendirian. Fenomena "ngaret" atau kebiasaan terlambat bukanlah sesuatu yang asing di masyarakat kita. Bahkan, candaan "jam karet" sering dianggap hal biasa dan melekat kuat dalam budaya kita.

Sayangnya, di balik kelucuan istilah "jam karet", kebiasaan ini menyimpan banyak masalah serius yang kerap diabaikan. Keterlambatan bukan hanya persoalan waktu semata, tetapi juga menggambarkan bagaimana kita memandang kedisiplinan, menghargai orang lain, dan pada akhirnya menghargai diri sendiri. Kebiasaan ngaret dapat memicu kerugian besar, mulai dari menurunnya produktivitas hingga rusaknya kepercayaan antarsesama.

Akar Masalah Kebiasaan Ngaret

Kebiasaan ngaret tidak muncul begitu saja. Ada berbagai faktor yang melatarbelakangi munculnya perilaku ini di masyarakat kita. Salah satu faktor utamanya adalah budaya kolektif yang cenderung fleksibel terhadap waktu. Dalam banyak kasus, orang yang datang terlambat masih ditoleransi dengan mudah. Bahkan, keterlambatan dianggap sesuatu yang lumrah.

Pada dasarnya, masyarakat Indonesia memiliki karakter yang lebih mengutamakan kebersamaan dan rasa kekeluargaan. Hal ini tentu merupakan nilai positif, tetapi sayangnya sering kali mengakibatkan rendahnya kesadaran akan pentingnya ketepatan waktu. Ketika satu individu terlambat dan tidak ada konsekuensi yang jelas, orang lain pun akan merasa hal yang sama dapat diterima.

Selain itu, manajemen waktu yang buruk juga menjadi faktor dominan. Banyak orang meremehkan waktu tempuh dari satu tempat ke tempat lainnya, bahkan kerap tidak membuat perencanaan sama sekali. Sebuah janji temu pukul tujuh malam sering kali diartikan sebagai waktu "perkiraan", bukan sesuatu yang wajib diikuti secara presisi.

Tidak hanya itu, masalah keterlambatan semakin diperparah oleh sikap toleransi yang berlebihan. Orang cenderung memaklumi keterlambatan dengan alasan klasik, seperti macet, bangun kesiangan, atau lupa waktu. Ironisnya, alasan-alasan ini terus diulang sehingga menimbulkan siklus keterlambatan yang tidak ada habisnya. Akibatnya, kebiasaan ngaret menjadi penyakit kolektif yang sulit diberantas.

Dampak Buruk Kebiasaan Ngaret

Meski terlihat sepele, kebiasaan ngaret membawa dampak buruk yang signifikan. Dalam konteks profesional, keterlambatan bisa merusak kredibilitas seseorang. Seorang karyawan yang datang terlambat secara terus-menerus akan dipandang tidak profesional dan sulit diandalkan. Hal ini bukan hanya berdampak pada citra pribadi, tetapi juga bisa berimbas pada performa tim secara keseluruhan.

Dalam dunia bisnis, keterlambatan bisa menyebabkan hilangnya peluang besar. Sebuah negosiasi atau pertemuan penting yang gagal karena keterlambatan bisa berujung pada kerugian finansial yang tidak kecil. Klien yang merasa waktunya tidak dihargai bisa saja membatalkan kerja sama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline