Pilkada 2024 seharusnya menjadi pesta demokrasi yang dirayakan dengan antusias oleh rakyat. Namun, di balik kemeriahan slogan dan kampanye, ada fakta yang sebenarnya miris yaitu meningkatnya angka golput. Di berbagai wilayah, suara keengganan untuk memilih semakin terdengar lantang dan dibuktikan waktu pilkada kemarin. Sebagian besar masyarakat merasa bahwa mencoblos bukan lagi cara efektif untuk memperjuangkan aspirasi mereka. Apakah ini sekadar apatisme, atau tanda bahwa kepercayaan pada pemerintah mulai retak?
Fenomena golput bukanlah hal baru, tetapi trennya yang semakin meningkat memaksa kita untuk mencari akar masalah lebih dalam. Apakah pemerintah benar-benar telah kehilangan legitimasi di mata rakyatnya, atau ada faktor lain yang membuat banyak orang enggan memilih?
Ketika Pilkada Kehilangan Gairah Rakyat
Di sebuah warung kopi sederhana di pinggiran kota, diskusi tentang Pilkada 2024 berlangsung hangat. Namun, bukannya membahas siapa calon yang terbaik, pembicaraan justru didominasi oleh keluhan: "Sama saja, siapa pun yang menang, hidup kita tetap susah." Pernyataan ini mencerminkan perasaan umum banyak rakyat kecil yang merasa bahwa Pilkada hanya formalitas. Calon yang ada dianggap tidak benar-benar peduli pada mereka.
Ilustrasi Cerita: Seorang ibu rumah tangga bernama Sari, misalnya, mengaku tidak akan memilih tahun ini. "Saya sudah bosan. Sudah lima tahun ini saya tidak melihat perubahan. Harga-harga naik terus, tapi para pemimpin kita malah sibuk rebutan kursi. Untuk apa saya ikut Pilkada?" keluhnya.
Sari bukan satu-satunya. Data dari survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa lebih dari 30% responden berpotensi golput dalam Pilkada 2024. Angka ini lebih tinggi dibandingkan Pilkada sebelumnya. Fenomena ini mengundang pertanyaan serius: mengapa begitu banyak orang merasa bahwa memilih tidak lagi penting?
Alasan Penurunan Kepercayaan
Golput tidak hanya soal apatisme, tetapi juga cerminan dari luka mendalam yang dirasakan masyarakat terhadap pemerintah. Luka ini diperparah oleh sejumlah faktor, seperti:
Korupsi yang Tak Kunjung Usai
Kasus korupsi terus menghantui wajah politik Indonesia. Dari tingkat pusat hingga daerah, pejabat yang seharusnya menjadi teladan justru terjerat skandal. Misalnya, pada 2023, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap kasus besar yang melibatkan kepala daerah. Padahal, mereka sebelumnya dielu-elukan sebagai pemimpin bersih. Ini memunculkan kekecewaan mendalam di masyarakat.