Lihat ke Halaman Asli

Frans Leonardi

TERVERIFIKASI

Freelace Writer

Menghapus Stereotip Perempuan Sebagai Warga Kelas Dua

Diperbarui: 12 Desember 2024   08:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Ibu dan Putrinya.Pixabay.com/Blessingp 

Jika kita melihat kondisi masyarakat modern saat ini, tampak jelas bahwa perempuan telah banyak berperan di segala bidang, mulai dari pendidikan, ekonomi, hingga politik. Namun, ironisnya, banyak orang yang masih memandang perempuan sebagai "warga kelas dua." Pemikiran kuno ini, meski tampaknya sudah mulai memudar, nyatanya masih eksis dan bisa ditemukan, bahkan di lingkungan yang kita anggap maju. Apakah sebenarnya yang melatarbelakangi stereotip ini, dan mengapa masih terus berlanjut di zaman yang katanya sudah maju ini?

Untuk memahami masalah ini, mari kita lihat akar sejarahnya. Selama ribuan tahun, berbagai budaya di seluruh dunia menganggap perempuan sebagai sosok yang terbatas pada peran mengurus rumah, merawat anak, dan menjadi pendukung utama laki-laki. Meskipun tidak ada yang salah dengan peran tersebut, membatasi perempuan hanya dalam lingkup ini menciptakan pandangan bahwa mereka tidak layak untuk mengambil peran yang lebih besar di masyarakat. Sebagai akibatnya, terciptalah berbagai stereotip yang menganggap perempuan lebih lemah, emosional, dan tidak mampu memimpin atau membuat keputusan penting.

Sejarah panjang inilah yang mempengaruhi cara pandang kita hari ini. Stereotip ini masih hidup dalam bentuk yang sering kali terselubung, misalnya ketika seorang perempuan yang bercita-cita menjadi pemimpin dipandang sebelah mata, atau ketika seorang perempuan diperlakukan tidak setara dalam dunia kerja. Kamu mungkin pernah mendengar pernyataan, "Perempuan tidak cocok di dunia teknologi" atau "Perempuan seharusnya fokus mengurus rumah tangga." Ucapan seperti ini bukan sekadar kata-kata kosong; mereka menciptakan batasan tak kasat mata yang membuat perempuan kesulitan untuk meraih apa yang mereka inginkan.

Dampak Nyata dari Stereotip Perempuan sebagai Warga Kelas Dua

Dampak dari stereotip ini jauh lebih serius daripada yang mungkin kita bayangkan. Misalnya, di dunia kerja, perempuan sering kali dihadapkan pada "glass ceiling" atau batas tak terlihat yang membatasi kesempatan mereka untuk naik jabatan. Fakta menunjukkan bahwa meskipun perempuan memiliki kualifikasi dan pengalaman yang sama, mereka tetap berpeluang lebih kecil untuk mendapatkan posisi manajerial atau eksekutif dibandingkan rekan laki-lakinya. Sebuah laporan dari Catalyst, sebuah lembaga riset internasional, menunjukkan bahwa perempuan hanya memegang sekitar 26,5% posisi manajerial dan eksekutif di dunia, meskipun mereka berjumlah hampir separuh dari total angkatan kerja. Angka ini menunjukkan bahwa diskriminasi gender di dunia kerja masih menjadi masalah serius.

Selain itu, kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan juga menjadi bukti konkret dari diskriminasi ini. Berdasarkan laporan dari Badan Pusat Statistik Indonesia pada tahun 2023, perempuan di Indonesia rata-rata memperoleh upah sekitar 80% dari pendapatan laki-laki di posisi yang sama. Kesenjangan ini terjadi meskipun perempuan sering kali bekerja dengan etos dan dedikasi yang tidak kalah tinggi. Diskriminasi upah ini bukan hanya merugikan perempuan, tetapi juga ekonomi nasional, karena produktivitas perempuan yang maksimal tidak diakui dengan adil.

Lebih jauh lagi, stereotip ini berdampak pada kesehatan mental perempuan. Ketika mereka terus menerus direndahkan atau dipandang tidak setara, hal ini dapat menimbulkan rasa rendah diri dan kelelahan emosional. Banyak perempuan yang merasa harus bekerja lebih keras untuk membuktikan diri mereka setara, yang pada akhirnya bisa berujung pada burnout. Perasaan seperti ini bukanlah hal yang sepele, dan dapat mempengaruhi kebahagiaan serta kualitas hidup mereka.

Mengapa Menghapus Stereotip Ini Penting?

Menghapus stereotip ini bukan sekadar tentang memberdayakan perempuan; ini adalah soal keadilan, kemajuan, dan kebahagiaan bersama. Ketika perempuan diberi kesempatan yang sama, mereka bisa memberikan kontribusi besar bagi masyarakat. Misalnya, negara-negara dengan kesetaraan gender yang baik, seperti Islandia dan Swedia, menunjukkan tingkat kebahagiaan masyarakat yang lebih tinggi dan stabilitas ekonomi yang lebih baik. Data menunjukkan bahwa negara-negara tersebut cenderung memiliki ekonomi yang lebih kuat, karena seluruh angkatan kerja, baik laki-laki maupun perempuan, dapat bekerja sesuai dengan kemampuan dan minat mereka tanpa hambatan diskriminasi.

Selain itu, dunia yang inklusif menciptakan lingkungan kerja yang lebih produktif dan kreatif. Penelitian dari McKinsey & Company menemukan bahwa perusahaan dengan keragaman gender yang baik memiliki peluang 21% lebih tinggi untuk menghasilkan keuntungan di atas rata-rata dibandingkan dengan perusahaan yang kurang beragam. Perempuan sering kali membawa perspektif dan pendekatan berbeda yang justru bisa menjadi keunggulan kompetitif dalam menyelesaikan masalah yang kompleks.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline